16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Momentum Perkuat Sinergi Cegah Kekerasan terhadap Perempuan

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati dalam agenda rutin Media Talk (temu media) di Kemen PPPA. (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) dimaknai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebagai momentum penting untuk merefleksikan situasi kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati dalam agenda rutin Media Talk (temu media) menegaskan pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk mengkampanyekan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mengutamakan pemenuhan hak-hak korban.

“Perlu digarisbawahi bahwa aksi global Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember 2024 bukan hanya sebuah perayaan. Kami mengajak semua pihak untuk kembali merefleksikan setiap upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang telah kita lakukan sekaligus mengajak untuk lebih memperluas aksi nyata pencegahan untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan. Tantangan terbesar kita hari ini dan ke depan adalah masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Ratna di depan para jurnalis yang tergabung dalam Forum Wartawan Peduli Perempuan dan Anak (Fortapena) pada Media Talk di Kemen PPPA, Jum’at (29/11).

Tema kampanye 16 HAKTP tahun 2024 adalah: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan.  Sebagai isu sosial yang kompleks, Ratna menuturkan peran serta seluruh pihak sangat dibutuhkan sebagai basis utama dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Paradigma yang sama dalam memandang kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia perlu terus digaungkan, sehingga publik lebih sadar dan kasus dapat tertangani secara tuntas.

“Komitmen pemerintah untuk bisa menjadikan baseline terkait kasus atau prevalensi kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu kementerian, tetapi harus melalui kerja sama multi pihak atau pentahelix, yang melibatkan semua sektor. Proyeksi juga perlu kita lakukan selain refleksi. Proyeksi untuk menindaklanjuti hasil overview apa yang harus ditindaklanjuti, baik dari sisi kebijakan, penguatan kelembagaan, networking, dan sebagainya,” ujar Ratna.

Baca Juga: Kemen PPPA Perkuat Kerjasama dengan Polda Metro Jaya untuk Penanganan Kasus Kekerasan

Ratna menambahkan, selain kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang juga harus menjadi perhatian adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO). KBGO, menurut Ratna, dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun lebih rentan pada anak usia remaja. Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional menunjukkan adanya peningkatan KBGO dalam 3 tahun terakhir pada kelompok usia 25-29 tahun.

“Penggunaan media sosial yang sangat masif juga memiliki pengaruh, dampak, dan risiko yang cukup kuat untuk memunculkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini menunjukkan pentingnya literasi dan edukasi tentang keamanan digital kepada perempuan dan komunitas-komunitas perempuan lainnya sebagai bentuk pencegahan dan proteksi terhadap jenis kekerasan ini,” ujar Ratna.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, membenarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah yang terus terjadi, bahkan setiap harinya. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ada 4 bentuk kekerasan terhadap perempuan yang menjadi pusat perhatian publik. Pertama adalah KDRT, kedua kekerasan seksual, KBGO, dan yang terbaru adalah femisida.

“Jika kita lihat dalam KDRT, perlu dipahami bahwa satu korban bisa mengalami satu, dua, bahkan tiga bentuk kekerasan. Bahkan, tidak hanya satu kali, tetapi bisa berulang. Selain itu, ada kekerasan seksual. Adanya UU TPKS justru membuat korban semakin berani untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Publik semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Kami mengapresiasi juga Kemen PPPA yang bekerja keras untuk itu dan menyelesaikan aturan turunan UU TPKS,” jelas Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang.

Baca Juga: Kemen PPPA Perkuat Kerjasama dengan Polda Metro Jaya untuk Penanganan Kasus Kekerasan

Pada kesempatan ini, Ratna dan Veryanto mengajak semua pihak untuk dapat menyuarakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di mana pun berada. Menghimpun suara dan bersatu untuk melakukan kegiatan bersama demi meningkatkan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan serta perlindungan bagi korban.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *