Serayunusantara.com – Kalau ada kompetisi buku paling horor sepanjang masa, lupakan The Conjuring atau hantu lokal yang cuma bisa nakut-nakutin di pohon pisang. Pemenang tunggalnya adalah 1984 karya George Orwell.
Bedanya, buku ini nggak bikin kamu takut tidur gelap-gelapan, tapi bikin kamu takut kalau-kalau HP kamu tiba-tiba nyala sendiri dan lapor ke pusat kalau kamu baru saja nge-likepostingan yang “nganu”.
George Orwell ini sebenarnya sedang curhat.
Dia melihat dunia yang makin gila kekuasaan dan meramalkan sebuah masa depan di mana negara berubah jadi pacar yang toxic-nya minta ampun: posesif, manipulatif, dan kalau salah sedikit, kamu hilang dari kartu keluarga. Secara permanen.
Kementerian Kebenaran: Pabrik Hoaks Resmi Negara
Tokoh utama kita, Winston Smith, kerja di Ministry of Truth. Nama mentereng, tapi kerjanya lebih busuk dari admin akun bot di Twitter. Tugasnya? Merevisi sejarah.
Kalau hari ini pemerintah bilang harga cabai turun, tapi besok malah meroket, Winston bakal menghapus semua jejak berita harga turun itu dan menggantinya seolah-olah pemerintah dari awal sudah bilang harganya bakal naik.
Mirip nggak sama kelakuan pemerintah kita? Oh, jelas. Kita sering banget lihat pejabat bilang “A”, eh besoknya “B”. Pas ditagih janji atau ucapannya yang lama, tiba-tiba videonya hilang, atau dibilang “narasi itu dipelintir”, atau paling klasik: “salah input data”.
Di dunia Orwell, kebenaran itu bukan apa yang terjadi di lapangan, tapi apa yang tertulis di rilis pers hari ini. Sejarah itu kayak adonan kue, bisa diuleni sesuka hati penguasa.
Newspeak: Mengkebiri Otak Lewat Kamus
Orwell memperkenalkan Newspeak, sebuah cara memperkecil kosakata supaya rakyat nggak bisa mikir macem-macem. Logikanya jenius: kalau kita nggak punya kata “kebebasan”, kita nggak bakal tahu kalau kita sedang dijajah.
Lihat cara pemerintah kita pakai bahasa. Mereka nggak bilang “Lapar”, tapi “Rawan Pangan”. Nggak bilang “Kenaikan Harga”, tapi “Penyesuaian Tarif”. Nggak bilang “Penggusuran”, tapi “Relokasi Humanis”.
Ini adalah strategi supaya kemarahan rakyat nggak punya tempat untuk mendarat. Kita dibikin bingung oleh istilah-istilah administratif sampai akhirnya kita merasa semua baik-baik saja, padahal dompet sudah menjerit minta tolong.
Doublethink: Seni Percaya pada Kebohongan
Konsep paling brengsek di buku ini adalah Doublethink. Kamu dipaksa percaya pada dua hal yang berlawanan sekaligus.
Katanya demokrasi, tapi yang kritis dikasih “surat cinta” dari polisi.Katanya pro-rakyat, tapi undang-undangnya bikin pengusaha makin kaya dan buruh makin menderita.
Persis kayak slogan di kantor Winston: “Ignorance is Strength” (Kebodohan adalah Kekuatan). Semakin kita bodoh dan nggak tahu apa-apa, semakin kuat posisi mereka di atas sana.
Makanya, pendidikan kita dibikin mahal dan ruwet, supaya kita sibuk nyari ijazah buat kerja, bukan nyari ilmu buat kritis.
Layar Pantau yang Ada di Mana-ManaBig Brother di buku 1984 memantau lewat telescreen. Di dunia nyata, kita nggak butuh dipaksa.
Kita sendiri yang beli alat sadapnya (HP), kita bayar biaya langganannya (pulsa), dan kita bagikan data pribadi kita secara sukarela ke aplikasi-aplikasi yang entah siapa yang pegang datanya.
Lalu, tiba-tiba ada UU ITE yang siap menerkam siapa saja yang jempolnya terlalu lincah mengkritik “Yang Mulia” di atas sana.
Kita hidup di era di mana privasi adalah barang mewah yang sudah punah. Kita merasa bebas bicara di medsos, padahal kita sedang bicara di dalam kotak kaca yang dipantau oleh algoritma dan intelijen cyber.
Penutup: Nasib Winston adalah Nasib Kita?
Di akhir buku, Winston akhirnya “mencintai” Big Brother setelah otaknya dicuci habis-habisan. Itu adalah akhir yang paling tragis. Bukan karena dia mati, tapi karena jiwanya mati sebelum badannya.
Membaca 1984 adalah pengingat biar kita nggak jadi robot yang cuma bisa manggut-manggut sama narasi penguasa.
Selama kita masih bisa bilang kalau $2 + 2 = 4$, meskipun pemerintah bilang hasilnya $5$ demi “stabilitas nasional”, berarti kita masih manusia.
Kesimpulan: Baca buku ini kalau kamu merasa duniamu sedang baik-baik saja. Biar kamu sadar, ada mata yang selalu mengawasi, dan itu bukan malaikat raqib-atid, melainkan sistem yang haus kuasa. (Fis/Serayu)







