Bogor, serayunusantara.com — Melansir dari laman Kemenag RI, Gerakan moderat sejak dini tidak hanya bergulir di kalangan siswa Taman Kanak-Kanak (TK) dan madrasah. Gerakan moderat sejak dini juga bergulir di kalangan pesantren.
Hal ini antara lain dilakukan oleh Pesantren Tahfidz Al Kaukab, di Gunung Putri, Bogor. Pesantren ini diasuh oleh KH Khoirul Huda Basyir.
Penguatan moderat sejak dini ini dikemas dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Hadir ratusan santri yang juga siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
Sebagai narasumber, Pokja Moderasi Beragama Lukman Hakim Saifuddin mengenalkan kepada para santri tentang ajaran pokok (ushul) dan cabang (furu’) dalam agama. Perspektif tentang ushul dan furu’ penting, kata pria yang akrab disapa LHS ini, agar para santri bisa memahami dan menyikapi keragaman pemahaman dan pandangan secara baik dan moderat, tidak ekstrem atau berlebihan.
LHS lalu menjelaskan sejumlah nilai pokok ajaran agama. Pertama, memanusiakan manusia. “Islam hadir agar harkat martabat manusia terjaga. Manusia punya tugas penting sebagai pengelola alam semesta,” tegas LHS di Bogor, Sabtu (14/10/2023)
Baca Juga: Survei Kemenag, Indeks Literasi Al-Qur’an Kategori Tinggi
Nilai kedua, menegakkan keadilan dan persamaan di depan hukum. Menurut LHS, orang yang benar harus diapresiasi, sementara yang salah dihukum.
“Tidak ada orang setuju praktik pembedaan perlakuan kepada seseorang berdasarkan perbedaan latar belakang (suku, agama, status sosial, dan lainnya). Ini tidak dikenal dalam agama,” sebut LHS.
Nilai pokok agama yang lain adalah membangun kemaslahatan bersama. Karenanya, perilaku merusak harus dihindari. Sebab, inti Islam adalah membangun kemaslahatan bersama.
“Kemaslahatan adalah kebaikan yang mengandung manfaat yang bisa dirasakan banyak orang,” pesannya.
“Banyak nilai pokok agama lainnya, antara lain mewujudkan perdamaian, melestarikan lingkungan, jangan menipu, jangan berbohong, jangan membunuh, dan lainnya,” lanjut LHS.
Baca Juga: Rencana Pembentukan Ditjen Pesantren, Wamenag: Jadi Legacy Gus Yaqut
Selain ajaran pokok, dalam agama juga ada nilai cabang (furu’). Pada tataran cabang, ditemukan banyak keragaman pandangan, tidak hanya antar agama bahkan dalam satu agama.
Dalam Islam misalnya, ada ajaran tentang membaca qunut, memelihara jenggot, menentukan awal bulan dengan hisab atau rukyat, bilangan taraweh, ini semua bagian dari nilai cabang dalam Islam. Sehingga wajar, jika ada keragaman pandangan.
“Jadi Islam satu, tapi cara orang memahami ajaran Islam bisa beragam. Itulah kenapa faham, madzhab bisa beragam. Sehingga amaliyah ubudiyahnya juga beragam,” ujar LHS.
“Perbedaan di level cabang itu sesuatu yang biasa saja, keniscayaan, tidak terhindarkan,” sambungnya.
LHS lalu memberi penekanan tentang orang yang masuk kategori memiliki pemahaman yang melampaui batas. Misalnya, atas nama agama, di rumah ibadah justru mencaci maki dan menghujat orang lain. Hal itu menurut LHS adalah tindakan berlebihan.
Baca Juga: Terus Dorong Kemandirian Pesantren, Menag: Amanah Presiden Jokowi
“Kita boleh tidak setuju atau mengoreksi kekeliruan sesama, tapi tidak boleh mencaci maki atau menghujat. Sebab itu merendahkan harkat manusia, tidak sejalan dengan inti pokok agama yang memuliakan harkat manusia,” pesan LHS.
Contoh lainnya, kata LHS, perilaku orang yang atas nama agama justru melalukan perusakan. Misal, tindakan membakar rumah ibadah karena beda mazhab. Contoh lainnya adalah perilaku bully.
“Kita boleh beragam dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang sifatnya cabang. Kita saling menghargai perbedaan di wilayah ini. Tapi terhadap ajaran yang inti, tidak boleh diingkari atas alasan apapun juga. Atas nama agama sekalipun,” tegas LHS
“Jika ada orang yang melakukan sesuatu yang mengingkari keadilan, persamaan di depan hukum, itu berlebihan. Ini perlu dimoderasi,” tandasnya.
Kepada para santri, LHS berpesan untuk memanfaatkan kesempatan di pesantren untuk mendalami ilmu pengetahuan. Sebab, menjadi orang yang moderat memerlukan wawasan dan pengetahuan yang cukup agar bisa membedakan yang ushul dan furu’.***