Perkuat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indonesia dan Malaysia Laksanakan Pertemuan Bilateral

Kemen PPPA dan Kementerian Pembangunan Wanita, Kanak-Kanak dan Kesejahteraan Komuniti Sarawak melaksanakan pertemuan bilateral. (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Kementerian Pembangunan Wanita, Kanak-Kanak dan Kesejahteraan Komuniti (KPWK) Sarawak melaksanakan pertemuan bilateral dalam rangka meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak di kedua negara.

“Kemen PPPA mengapresiasi kunjungan Kementerian Pembangunan Wanita, Kanak-Kanak dan Kesejahteraan Komuniti Sarawak untuk berdiskusi mengenai praktik-praktik baik dalam menangani isu perempuan dan anak di kedua negara. Kami berharap hal ini bisa menjadi pembuka jalan kerjasama bilateral di masa mendatang untuk melaksanakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang lebih baik, serta memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, baik untuk Indonesia dan Sarawak,” kata Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu.

Titi Eko menyampaikan program, kegiatan dan progres pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia yang telah diupayakan oleh Kemen PPPA diantaranya berkaitan dengan bidang kesetaraan gender, pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak dan perlindungan hak perempuan. Adapun upaya yang telah dilakukan mulai dari perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi, penyediaan layanan pengaduan kekerasan, hingga pengelolaan data gender dan anak.

Terkait isu perlindungan dan pemenuhan hak anak, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu menyampaikan tiga indeks yang menjadi pengukur. Indeks-indeks tersebut diantaranya  Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA), Kota Layak Anak (KLA), dan dari sisi perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perkawinan anak dilihat dari Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA).

“Untuk memastikan pemenuhan hak kami sudah mengikuti konsep Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Mulai dari pemenuhan hak sipil kebebasan, pemenuhan hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif,  pemenuhan hak dasar dan kesejahteraan, hingga hak pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya. Indikator tersebut sudah kami susun dari pusat dan akan diturunkan ke tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Nantinya pemerintah daerah akan melakukan upaya-upaya komprehensif dan terintegrasi dalam pemenuhan hak anak, kemudian akan dievaluasi secara bersama-sebagai indikator dalam memberikan predikat KLA,” kata Pribudiarta.

Baca Juga: Menuju Hari Anak Nasional, Menteri PPPA Dukung Pendidikan Anak yang Berkesetaraan

Pribudiarta menyampaikan salah satu pencapaian dalam melindungi anak Indonesia dengan disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas perkawinan menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Upaya pencegahan perkawinan anak tersebut juga turut didukung oleh tokoh agama melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dikembangkan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, hingga Persatuan Gereja Indonesia.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar turut menyampaikan upaya perlindungan khusus anak bagi anak-anak yang masuk dalam kategori rentan, bermasalah dan sudah bermasalah. Adapun kerentanan tersebut salah satunya dapat dilihat dari tren laporan kasus dan korban kekerasan terhadap anak pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) dan layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.

“Meningkatnya pelaporan menunjukkan keberanian masyarakat dalam menyuarakan kasus kekerasan yang dialami atau diketahui. Untuk menindaklanjutinya, Kemen PPPA telah menyusun Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang melibatkan 16 kementerian/lembaga. Selain itu kami juga aktif mengadakan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang telah dilakukan tiga kali sejak 2016,” jelas Nahar.

Senada dengan itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati menyampaikan upaya perlindungan hak perempuan salah satunya melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi dan internasional.

“Kami memastikan perlindungan hak perempuan pada korban kekerasan baik pada korban kekerasan fisik, psikis, seksual, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), perempuan difabel, lansia, dan perlindungan bagi mereka yang berhadapan dengan bencana serta konflik sosial. Upaya yang kami lakukan adalah menyusun kerangka regulasi salah satunya UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kerangka regulasi ini diperkuat dengan kerangka kelembagaan yakni Layanan SAPA dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat daerah,” jelas Ratna.

Baca Juga: Jelang HAN 2024, Kemen PPPA Lakukan Jelajah SAPA dan Bagikan 3 Ton Ikan Segar

Dari sisi pemberdayaan perempuan, Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Rini Handayani menyampaikan upaya meningkatkan kemandirian perempuan dengan dilaksanakannya pelatihan wirausaha berperspektif gender yang dilakukan hingga ke akar rumput. Melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) dan program Mekaar yang bekerjasama dengan PT permodalan Nasional Madani (PNM), Kemen PPPA berupaya memberikan pelatihan kewirausahaan yang terfokus pada perempuan kelompok rentan prasejahtera, perempuan kepala keluarga, dan perempuan penyintas kekerasan.

“Pemberdayaan perempuan dari level akar rumput ini merupakan hal yang penting karena pemerintahan terkecil dimulai dari tingkat desa dan kelurahan. Diberikannya pelatihan kewirausahaan akan meningkatkan nilai perempuan di masyarakat yang bisa turut berkontribusi secara ekonomi dan lebih mandiri. Selain itu, sosialisasi dan edukasi tentang kesetaraan gender juga akan meningkatkan pemahaman mereka mengenai hak-haknya. Melalui pengembangan perempuan dari level desa diharapkan bisa berkontribusi dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan menurunkan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Indonesia,” kata Rini.

Menteri Pembangunan Wanita, Kanak-Kanak dan Kesejahteraan Komuniti Sarawak, YB Dato Sri Hajah Fatimah Abdullah mengapresiasi peran Kemen PPPA dalam menangani isu perempuan dan anak. Diskusi yang dilakukan antar kedua belah pihak memberikan banyak pengetahuan untuk meningkatkan kecakapan dalam memberdayakan perempuan dan melindungi anak.

“Kami ke Jakarta untuk melihat good practices yang telah diimplementasikan guna memperbaiki pelayanan yang akan diberikan pada target grup kami yakni perempuan dan anak. Kami melihat kepemimpinan perempuan di Indonesia sangat hebat  dari aspek ekonomi dan kewirausahaan sehingga kami merasa perlu belajar. Dalam mengusahakan pemberdayaan perempuan kami juga sudah melakukan banyak hal, diantaranya kepemimpinan perempuan, mendorong perempuan berada di tempat yang bisa mendapatkan tanggung jawab untuk membuat keputusan, mendorong kewirausahaan untuk meningkatkan ekonomi perempuan dan mengeluarkan mereka dari kepompong kemiskinan. Lebih lanjut kami juga berupaya membangun keterampilan parenting untuk ibu dan bapak, serta memberdayakan perempuan melalui undang-undang,” jelasnya.

Terkait pemenuhan hak anak, Menteri KPWK menyampaikan upaya pemenuhan hak pendidikan bagi anak pekerja Indonesia di Sarawak melalui Community Learning Center (CLC). CLC merupakan institusi pendidikan bagi anak-anak pekerja ladang berkewarganegaraan Indonesia di Sarawak yang diinisiasi sejak tahun 2016. Hal ini juga menjadi kesepakatan dari Perdana Menteri Malaysia dan Presiden Republik Indonesia untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi anak Indonesia sampai usia 12 tahun dan telah tersebar lebih di 50 lokasi.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *