(Foto: Kemendikbudristek RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman Kemendikbudristek RI, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) dan Direktorat SMA Ditjen Pauddikdasmen, mengadakan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan untuk Regional 1 sebagai langkah nyata dalam menangani kekerasan di sekolah. Kegiatan ini melibatkan peserta dari Provinsi Sumatera Utara, Riau, Aceh, Sumatera Barat, Banten, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, dan Sumatera Selatan, dengan format hybrid yang menggabungkan metode daring dan luring.
Dalam sambutannya, Kepala Pusat Penguatan Karakter, Rusprita Putri Utami, menyampaikan, bahwa saat ini, dunia pendidikan Indonesia tengah menghadapi tantangan serius terkait isu kekerasan. Data menunjukkan bahwa sebanyak 36% peserta didik berpotensi mengalami perundungan, dan 34% berpotensi mengalami kekerasan seksual.
“Kami berharap modul penanganan kekerasan yang kami rancang ini dapat memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas dari para Satgas dan TPPK dalam menanggulangi masalah ini secara efektif. Dengan kolaborasi dan sinergi yang kuat, kita semua dapat berkontribusi lebih baik dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.”
Kemendikbudristek berkomitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung perkembangan peserta didik secara optimal, serta bertujuan untuk menghadirkan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, sehingga dapat membentuk generasi yang berkualitas dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pelatihan ini bertujuan memperkuat kapasitas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas (Satgas) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam mencegah serta menangani kasus kekerasan di sekolah. Materi pelatihan mengacu pada Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 yang memberikan panduan komprehensif tentang penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Baca Juga: Atdikbud KBRI Canberra Fasilitasi 8 Mahasiswa Indonesia Magang Mengajar di Sekolah Australia
Menangani Tantangan Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di sekolah merupakan masalah serius yang mengancam perkembangan peserta didik, baik secara akademis maupun psikologis. Dampaknya, seperti kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi, dapat menghancurkan rasa aman siswa dan menghambat potensi mereka. Oleh karena itu, penanganan kekerasan di sekolah menjadi prioritas utama Kemendikbudristek dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan inklusif.
Keberadaan Satgas dan TPPK menjadi garda terdepan dalam rangkaian program, kebijakan, dan intervensi pencegahan serta penanganan kekerasan. Saat ini, lebih dari 93% TPPK telah terbentuk, mencakup 402.978 TPPK dari 432.011 satuan pendidikan di Indonesia. Sementara itu, lebih dari 71% Satgas provinsi dan 85% TPPK juga telah dibentuk sejak disahkannya payung hukum ini. Untuk jenjang PAUD, lebih dari 89% TPPK telah terbentuk dan 81,64 persen pendidikan masyarakat juga memiliki TPPK di seluruh Indonesia.
Peserta pelatihan tidak hanya terdiri dari TPPK dan Satgas, tetapi juga meliputi Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak dari wilayah yang sama. Setelah pelatihan, mereka diharapkan dapat menyebarluaskan ilmu dan keterampilan yang diperoleh kepada satuan tugas di daerah masing-masing, sehingga semakin banyak sekolah yang siap menangani kekerasan dengan tepat.
Amna Zalifa, dari LBH Apik Aceh dan Satgas PPKSP Kabupaten Aceh Tengah, menyatakan, “Kalau menurut saya materi yang didapatkan di pelatihan ini sangat penting bagi kami satgas dan khususnya TPPK yang menjadi garda terdepan penanganan kekerasan, dengan peningkatan kapasitas saya harapkan peran TPPK lebih responsif ketika melakukan penanganan.”
Hal serupa juga disampaikan oleh Hapit Agustin, dari unsur TPPK di UPT SPF SDN 105855 PTPN II Kabupaten Deli Serdang. “Dampaknya sangat luar biasa kami yang awalnya belum paham bagaimana menangani kasus dengan baik, sekarang jadi tahu sedikit demi sedikit, cara proses menanganinya dan bagaimana harus memperlakukan terlapor dan korban dengan benar. Baik pelapor dan korban harus kita lakukan pendampingan,” ujarnya.
Baca Juga: GELP Digelar di Jakarta, Para Pemimpin Pendidikan Melihat Transformasi Pendidikan Indonesia
Pelatihan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di berbagai region, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Selatan. Pelatihan untuk region 5 juga akan dilaksanakan pada 21-24 Oktober mendatang, mencakup Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo. Dengan demikian, Kemendikbudristek berupaya memastikan bahwa seluruh daerah di Indonesia memiliki kapasitas yang cukup dalam menangani kekerasan di sekolah.
Pelatihan didukung oleh fasilitator nasional dan Master Trainer dari berbagai lembaga di bawah Kemendikbudristek, termasuk BBPMP, BPMP, BBGP, dan BGP, dan juga melibatkan fasilitator dari Jaringan Masyarakat Sipil, termasuk Aliansi Sumut Bersatu, Yayasan Al-Azhar, Yayasan PUPA, Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), serta Konsultan Psikolog. Dengan melibatkan berbagai elemen ini, diharapkan penanganan kekerasan di sekolah dapat dilakukan secara tepat dan sesuai dengan pedoman yang ada.
Setelah pelatihan, peserta akan bertugas menyebarkan ilmu yang didapat kepada satuan tugas di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, serta TPPK di tingkat satuan pendidikan. Dengan upaya ini, Kemendikbudristek optimis bahwa lingkungan pendidikan di Indonesia akan semakin kondusif bagi perkembangan peserta didik, bebas dari kekerasan, dan sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila.***