Mataram, serayunusantara.com – Melansir dari laman KPK RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V mengidentifikasi kebocoran di sektor perizinan tambak udang di Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat rendahnya sinkronisasi data antarinstansi terkait. Hanya sekitar 10 persen tambak di NTB yang tercatat memiliki izin persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang laut (PKKPR Laut) dan izin lingkungan.
Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, seusai menggelar ‘Rapat Koordinasi Tata Kelola Pertambakan’ di Gedung Graha Bhakti Praja, Kota Mataram, NTB, Kamis (9/1), mengungkapkan bahwa ketidakpatuhan ini mencerminkan lemahnya pengawasan serta kurangnya koordinasi antarinstansi terkait. Kondisi ini berpotensi memicu pelanggaran hukum, praktik korupsi di sektor perizinan tambak, dan kerugian berupa kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak.
“Seharusnya jumlah tambak yang terdaftar di DPMPTSP sesuai dengan jumlah izin lingkungan di DLHK. Izin lingkungannya itu tidak sampai 10%, begitu pun izin Persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang laut yang tercatat hanya 10%. Jadi, dapat dikatakan banyak masalah tambak di NTB itu karena mereka tidak punya izin lingkungan, sementara izin tambaknya ada. Mereka tidak berkoordinasi antar instansi sehingga menimbulkan ketimpangan izin,” jelas Dian.
Lebih rinci, data DPMPTSP Provinsi NTB mencatat sejauh ini izin tambak yang telah diterbitkan berjumlah 256 tambak. Namun, DLHK mencatat hanya 33 (10%) izin lingkungan yang sudah diterbitkan. Dian menegaskan, seharusnya usaha tambak tak boleh beroperasi jika belum memiliki izin lingkungan.
Di sisi lain, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB mencatat ada 197 tambak yang mengantongi surat izin usaha perikanan (SIUP), yang tersebar di Kabupaten Sumbawa (106 tambak), Lombok Timur (47), Lombok Utara (12), Sumbawa Barat (7), serta Kabupaten Bima (25).
“Di Kabupaten Sumbawa, data DKP Provinsi NTB menunjukkan terdapat 106 tambak yang telah memiliki surat izin usaha perikanan. Namun, menurut catatan Pemda Sumbawa, jumlah izin yang tercatat mencapai 131. Selain itu, ditemukan pula 885 tambak udang yang beroperasi secara ilegal di wilayah tersebut,” ucap Dian.
NTB Penghasil Udang Terbesar se-Indonesia
Dian menjelaskan, tambak udang menjadi fokus perhatian karena peran strategisnya bagi NTB dan Indonesia. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2021–2024), NTB menjadi provinsi dengan produksi udang terbesar di Indonesia, mengungguli Jawa Barat dan Jawa Timur. Selama periode tersebut, total produksi udang di NTB mencapai 197.040.111 ton.
“Indonesia juga tercatat sebagai negara pengekspor udang terbesar keempat, dengan kontribusi sebesar 6,6 persen dari total ekspor udang dunia pada 2022 (data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2023). Udang juga menyumbang hingga 34% dari pendapatan sektor kelautan dan perikanan nasional. Artinya, komoditas ini sangat penting bagi perekonomian Indonesia,” tutur Dian.
Dorong Sinkronisasi Data
Untuk itu, dalam forum “Rapat Koordinasi Tata Kelola Pertambakan” yang dihadiri Sekda Provinsi NTB, Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN NTB, Kepala Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara, Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kepala Pangkalan PSDKP Benoa, Kepala BKKPN Kupang, hingga kepala daerah/sekda kabupaten/kota se-NTB yang turut hadir dalam rapat ini, Dian mendorong agar pemda dapat melakukan sinkronisasi data antarinstansi terkait.
Langkah ini perlu diambil guna mencegah potensi korupsi di sektor perizinan dan pengawasan, yang menjadi fokus dalam 8 area intervensi di Monitoring Center for Prevention (MCP). Pada 2024 sendiri, NTB mencatatkan nilai capaian MCP sebesar 83 poin.
Baca Juga: KPK Terima 15.516 Laporan Gratifikasi Mulai 2020 sampai 2024
“Kami meminta dari DPMPTSP, LHK, hingga DKP bisa berkoordinasi untuk sinkronisasi data tambak udang ini. Silakan mengisi kelengkapan data, seperti izin tambak siapa, pengusahanya siapa, alamatnya, koordinatnya, kepatuhan pembayaran pajak, hingga dilihat izin lingkungannya ada atau tidak, termasuk kepatuhan pembayaran pajak,” tegas Dian. Untuk penyelarasan data ini, diberikan tenggat waktu satu bulan kepada pemangku kepentingan di NTB.
Setelah data berhasil disinkronisasi, KPK akan mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dan melakukan pengawasan lintas sektor dengan melibatkan dinas terkait, aparat penegak hukum, serta para pelaku usaha tambak. Pun bersama tim terpadu dari kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, KPK akan melakukan inspeksi lapangan untuk memastikan kepatuhan. Tambak yang tidak mematuhi aturan akan diberikan sanksi tegas.
Lebih lanjut, Dian juga menekankan pentingnya penerapan praktik budidaya yang baik (cara budidaya ikan yang baik/CBIB) untuk menjaga keberlanjutan. CBIB, yang sejak 2021 dikeluarkan oleh pemerintah pusat, menjadi tolok ukur pengelolaan tambak yang ramah lingkungan.
“Kita tidak hanya bicara tentang ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat, tetapi juga keseimbangan dengan kelestarian lingkungan. Jika lingkungan rusak, pemulihannya tidak semudah membalikkan telapak tangan,” pesan Dian.
Melalui pendekatan kolaboratif ini, KPK berharap dapat menciptakan tata kelola tambak yang lebih transparan dan berkelanjutan, sehingga manfaat ekonomi tambak udang dapat dirasakan oleh masyarakat tanpa mengorbankan lingkungan.***