Serayunusantara.com – Dunia kini semakin menyadari bahwa isu kesehatan mental bukan hanya masalah personal, tetapi juga krisis kolektif—dan di balik sorot lampu stigma, laki-laki terus menjadi kelompok yang paling rentan dalam “sepi bersama”.
Fenomena ini bisa disebut “Boys Crysis”: kehancuran jiwa laki-laki yang sering kali tidak terlihat, tetapi berdampak besar.
Data & Fakta: Laki-Laki di Puncak Ketertindasan Jiwa
- Di Indonesia, tercatat sekitar 1,4 juta laki-laki mengalami gangguan kesehatan mental menurut analisis data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022.
- Meski banyak yang mengalami gejala, hanya 18 persen laki-laki yang mengakses layanan kesehatan jiwa.
- Epidemi bunuh diri memperlihatkan pola yang mengerikan: menurut Kompas.id, laki-laki lebih sering melakukan “percobaan fatal” karena metode yang lebih berbahaya dan inilah yang berkontribusi pada angka kematian.
- Gangguan seperti skizofrenia juga lebih banyak didiagnosis pada laki-laki: studi di RS Jiwa Bali menunjukkan sekitar *66% pasien skizofrenia adalah laki-laki.
Data ini menunjukkan bahwa beban kesehatan mental pada laki-laki adalah nyata, besar, dan kompleks — bukan sekadar “sedih biasa”.
Sebab “Boys Crysis”: Mengapa Krisis Ini Terjadi?
1. Stigma Maskulinitas
Budaya menekan emosi sangat kental: laki-laki diajarkan “tidak boleh lemah”, “harus kuat”, dan “tidak menangis”. Hal ini mendorong banyak pria untuk tidak berbagi beban emosional.
2. Akses Layanan Rendah
Meskipun jumlah kasus tinggi, akses terhadap layanan kesehatan mental masih minim. Rendahnya kesadaran dan takut dianggap “lemah” membuat pria enggan mencari pertolongan.
3. Metode Bunuh Diri yang Lebih Fatal
Karena racikan stigma dan cara berpikir, pria cenderung menggunakan metode bunuh diri yang lebih mematikan — sesuatu yang meningkatkan angka kematian akibat percobaan tersebut.
4. Norma Sosial dan Ekspektasi Sosial
Norma sebagai “pencari nafkah”, “pelindung keluarga”, atau “pemimpin” menambah beban psikologis. Ketika tidak bisa memenuhi harapan ini, rasa gagal dan tekanan identitas bisa memperparah kondisi mental.
Poin Pembahasan Penting
- Krisis mental pria adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya isu pribadi.
- Perlu pemutusan siklus stigma: laki-laki harus diberi ruang untuk mengekspresikan emosi tanpa rasa malu.
- Sistem kesehatan mental wajib menyediakan jalur yang ramah bagi pria, dari konseling hingga intervensi dini.
- Pendidikan maskulinitas sehat di sekolah dan komunitas sangat esensial.
Solusi yang Perlu Diambil
1. Mendorong Akses Layanan Mental yang Lebih Ramah Pria
Institusi kesehatan dan lembaga sosial harus menciptakan klinik, hotline, dan komunitas yang didesain khusus untuk pria, dengan staff terlatih yang paham tantangan laki-laki dalam mengekspresikan emosi.
2. Kampanye Maskulinitas Sehat
Edukasi publik tentang “maskulinitas emosional” penting: bahwa menangis, menolak untuk kuat sepanjang waktu, dan meminta bantuan adalah bagian dari menjadi manusia sejati.
3. Pelatihan Keterampilan Emosional
Masukkan program literasi emosional di sekolah, universitas, dan tempat kerja, agar pria muda belajar menyadari dan mengelola stres, cemas, atau depresi.
4. Dukungan Komunitas dan Peer Support
Buat komunitas peer support (sebagai contoh: klub pria, grup diskusi) yang menyediakan ruang bagi laki-laki untuk berbagi pengalaman tanpa takut dinilai lemah.
5. Riset dan Kebijakan
Pemerintah dan lembaga kesehatan harus meningkatkan riset tentang kesehatan mental pria dan menerapkan kebijakan publik yang mendukung program pencegahan krisis jiwa pria.
Kesimpulan
“Boys Crysis” bukan sekadar ungkapan dramatis: ini adalah realitas serius di mana banyak laki-laki merasa hancur dalam diam. Krisis ini tumbuh dari stigma, rasa malu, dan harapan sosial yang menekan.
Untuk menyelesaikannya, butuh upaya bersama: dari individu, komunitas, hingga kebijakan nasional.
Mendengarkan suara laki-laki yang berjuang, mematahkan stereotip “lelaki kuat”, dan menyediakan akses nyata ke bantuan mental adalah langkah awal menyembuhkan krisis ini. Karena laki-laki juga berhak menangis — dan pulih.
Penulis : Reyda Hafis







