Jakarta, serayunusantara.com – Keputusan DPR mengesahkan KUHAP baru menuai kritik tajam dari pakar hukum, terutama terkait sejumlah pasal yang dinilai bisa melemahkan pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan mengancam hak-hak warga negara.
Akademisi Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera menyoroti proses legislasi hingga substansi pasal kritis yang dianggap bermasalah.
Menurut Bivitri, proses penyusunan KUHAP baru sarat dengan keterbatasan partisipasi publik.
“Pertemuan terbatas dengan organisasi masyarakat sipil pun diklaim sebagai partisipasi bermakna. Padahal, tidak ada proses mendengar, mempertimbangkan, dan menanggapi secara substansial,” ujarnya.
Baca Juga: Tempo Menang! Gugatan Amran Sulaiman Rp 200 Miliar Ditolak Pengadilan
Sorotan pada Pasal yang Dinilai Berbahaya
Sejumlah pasal dalam KUHAP baru menjadi titik kritik. Bivitri mengingatkan bahwa beberapa ketentuan membuka potensi pelonggaran terhadap tindakan aparat yang melewati batas:
- Pasal 16 dan Pasal 5 ayat 2 dianggap memberi ruang bagi intervensi tanpa pengawasan kuat.
- Ketentuan lain terkait penyadapan belum diatur secara ketat dalam KUHAP, menurut DPR akan diatur dalam undang-undang tersendiri.
- Frasa “keadaan mendesak” yang memberi kewenangan untuk penggeledahan atau pemblokiran tanpa izin hakim dipandang sangat berisiko jika tak didefinisikan dengan jelas.
Bivitri turut menyatakan kekhawatirannya bahwa definisi yang kabur bisa disalahgunakan.
“Penyusunan KUHAP ini tampak lebih banyak memberi kekuasaan tambahan bagi aparat, sedangkan perlindungan hak warga negara justru bisa tertekan,” kata dia.
Kekhawatiran terhadap Legitimasi Demokrasi
Di mata Bivitri, KUHAP baru saat ini lebih menguatkan warisan kolonial dalam sistem peradilan, bukan mewujudkan reformasi hukum acara yang progresif.
Ia menilai pengaturan upaya paksa (seperti penggeledahan, penyitaan, pemblokiran) dalam RUU KUHAP harus dievaluasi agar tidak melanggar prinsip hak asasi.
Dengan disahkannya KUHAP baru, publik pun menuntut adanya kontrol eksternal dan mekanisme evaluasi segera.
Pengamat hukum menyarankan pengawasan ketat dari masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga negara lain agar KUHAP baru tidak menjadi alat dominasi, melainkan benar-benar menjamin keadilan dan hak-hak warga. (Serayu)







