Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan saat rilis IKI Juni 2023 di Jakarta (Foto: Kemenperin RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman Kemenperin RI, Sinyal ekonomi Indonesia yang membaik di tengah melambatnya perekonomian global mulai mendorong kinerja industri pengolahan. Pulihnya ekonomi dapat dilihat dari beberapa indikator makro, seperti stabilitas nilai tukar Rupiah dan penurunan tekanan inflasi sehingga suku bunga dapat dipertahankan tetap. Inflasi yang memiliki kecenderungan menurun pada bulan Mei 2023 didorong oleh penurunan harga komoditas dan energi, serta akibat dari pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan oleh sebagian besar bank sentral. Selanjutnya, kinerja industri pengolahan yang tumbuh massif tercermin pada nilai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juni 2023 yang menguat secara signifikan.
“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juni 2023 mencapai 53,93 meningkat 3,03 poin dibandingkan Mei 2023. Angka ini juga merupakan yang paling tinggi sejak IKI dirilis November 2022 lalu,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan saat rilis IKI Juni 2023 di Jakarta, Selasa (27/6).
Febri menyampaikan, seluruh variabel pembentuk IKI Juni 2023 mengalami ekspansi. Variabel pesanan baru meningkat sebesar 4,97 poin menjadi 54,81, variabel produksi yang meningkat 4,85 poin menjadi 54,86, sedangkan variabel persediaan menurun 4,56 poin menjadi 50,34. Pesanan domestik masih menjadi faktor dominan yang mempengaruhi indeks variabel pesanan baru.
Peningkatan IKI bulan Juni 2023 didorong oleh peningkatan IKI di 21 subsektor industri. Tidak saja mengalami peningkatan nilai IKI, beberapa subsektor juga terpantau telah mengalami ekspansi setelah sebelumnya selalu mengalami kontraksi. Dari 23 subsektor industri tersebut, terdapat delapan subsektor yang berubah dari kontraksi menjadi ekspansi pada Juni 2023 ini.
Delapan subsektor tersebut, yaitu industri kertas dan barang dari kertas, industri karet, barang karet dan plastik, industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, serta industri pengolahan tembakau. Selanjutnya, industri barang galian bukan logam, industri farmasi, obat kimia dan tradisional, industri pakaian jadi, dan industri logam dasar. Tiga subsektor yang masih mengalami kontraksi, yaitu industri tekstil, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, dan industri pengolahan lainnya. “Untuk bulan Juni, subsektor industri dengan nilai IKI tertinggi adalah industri kendaraan bermotor, trailer dan semitrailer, industri makanan, dan industri minuman,” jelas Febri.
Baca Juga: Manfaatkan Inovasi Balai Kemenperin, Produksi IKM di Aceh Naik Dua Kali Lipat
Mengenai kelompok industri pengolahan lainnya yang masih mengalami kontraksi, Direktur Industri Aneka dan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Ni Nyoman Ambareny menyampaikan permasalahan yang dihadapi, khususnya pada industri yang berorientasi ekspor, antara lain industri alat musik, industri mainan, industri alat tulis, industri alat olahraga, dan industri bulu mata palsu.
“Masalah utama yang dihadapi adalah kondisi ekonomi negara tujuan ekspor, yaitu Uni Eropa dan Amerika Serikat belum kembali normal, Sehingga permintaan untuk produk-produk yang termasuk sebagai produk tersier belum kembali pulih,” ujar Ambareny.
Dalam rangka menjaga pasar domestik melalui pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (IKM), Kemenperin telah melakukan beberapa upaya, antara lain memberikan fasilitasi sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) berdasarkan self-assessment bagi industri kecil, kampanye Bangga Buatan Indonesia, serta sinergi dengan instansi di luar Kemenperin dalam penjajakan ekspor ke pasar non-tradisional.
Permasalahan yang sama juga dihadapi oleh industri tekstil dan industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki. Tahun ajaran baru dan adanya investasi baru pada industri yang mengalami kontraksi menimbulkan harapan untuk perbaikan nilai IKI sampai dua bulan mendatang. “Selain itu, di periode ini industri pakaian jadi mengalami dekspansi, didukung oleh kondisi pasar ekspor untuk tujuan Amerika Serikat yang cukup bersahabat,” Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan menyampaikan.
Sedangkan terkait produk tekstil yang bulan lalu mengalami kenaikan impor sebanyak 70,49%, Kemenperin telah mengusulkan untuk dilakukan pengawasan di Pusat Logistik Berikat (PLB) maupun market place.
Baca Juga: Kerek Ekspor, Kemenperin Fasilitasi Tujuh Industri ICT Mejeng di Singapura
Dalam kesempatan tersebut, juga hadir Plt. Sekretaris Jenderal Kemenperin, Putu Juli Ardika. Ia menjelaskan, selain merupakan yang tertinggi sejak indeks tersebut diluncurkan, IKI bulan Juni 2023 juga memiliki persentase pesimisme terendah sepanjang pelaporan IKI. nilai IKI tertinggi ini disebabkan kondisi pasar yang sudah membaik. “Oleh karena itu, pasar domestik perlu dijaga dari serbuan barang impor,” tegas Putu.
Nilai IKI Juni 2023 mengalami rebound setelah sempat menurun pada bulan sebelumnya, disebabkan oleh perilaku konsumsi saat libur Idul Fitri tidak seperti harapan Akibatnya, pada Mei lalu, industri masih memiliki banyak persediaan produk. Dengan habisnya persediaan produk tersebut, industri berproduksi kembali di bulan Juni.
Putu menambahkan, tumbuhnya optimisme pelaku usaha didukung oleh momen-momen rutin tahunan, seperti tahun ajaran baru, libur hari raya, libur sekolah, serta peringatan HUT RI. Selain itu, pesta demokrasi yang akan berlangsung juga berpeluang meningkatkan permintaan, terutama bagi industri tekstil dan produk tekstil maupun industri makanan dan minuman.
Tidak hanya detail nilai IKI yang mengalami ekspansi, mayoritas pelaku usaha menyatakan kondisi usaha secara umum di bulan Juni 2023 yang mengatakan kondisinya membaik mengalami peningkatan. Sebanyak 33,6% pelaku usaha mengatakan kondisi usaha bulan Juni lebih baik dibanding bulan Mei 2023 (naik 5,3%). Kondisi ini merupakan yang tertinggi sepanjang periode IKI.
“Pandangan terhadap kondisi usaha enam bulan ke depan pada bulan Juni ini tercatat sebesar 66,19% pelaku usaha lebih optimis, dan 25,47% mengatakan kondisi usaha enam bulan ke depan akan tetap,” pungkas Putu.***