Diduga Tidak Transparan, Pengelolaan Wisata Pantai di Blitar Dipersoalkan

Suasana Pantai Tambakrejo. (Foto: Serayu Nusantara)

Blitar, serayunusantara.com – BUMDes Desa Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dalam hal pengelolaan kawasan wisata pantai diduga tidak transparan.

Pasalnya, diduga tidak semua hasil pengelolaan itu dilaporkan secara transparan kepada pihak-pihak terkait maupun masyarakat setempat, karena menurut laporan yang dihimpun alasannya merugi.

Seperti diberitakan sebelumnya, kerugian ini mungkin diduga akibat kebocoran yang dilakukan oleh oknum petugas BUMDes Desa Tambakrejo sendiri dalam melaksanakan pungutan tiket masuk wisata.

Disisi lain, menurut Jansen (50) yang juga salah satu perintis kawasan wisata tersebut, mungkin juga adanya kongkalikong antara BUMDes dengan pemerintah desa (Pemdes). Sebab, hal ini tidak pernah dimusyawarahkan dengan masyarakat.

“Anggota BUMDes dipilih karena unsur kedekatan dengan kepala desa dan ini bukan menjadi rahasia lagi,”

“Kalau orang-orang lama seperti saya sekarang tidak dilibatkan. Alasannya, karena adanya aturan jika menjadi anggota BUMDes,”

“Kalau masalah hasil dari pengelolaan ini, yang saya tahu masyarakat tidak pernah diajak musyawarah,”

“Namun yang saya tahu sampai sekarang, diwujudkan untuk pembuatan taman. Entah berapa anggarannya itu,” kata Jansen.

Baca Juga: Diduga BUMDes Tambakrejo Tidak Transparan, Jadi Penyebab Sharing Profit Rendah 

Kemudian mendengar hal itu, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Blitar Arinal Huda, pihaknya bakal mengkroscek ke lapangan dan mengevaluasi masalah ini.

“Biasanya tiap rapat juga kita sampaikan untuk lebih transparan dalam laporan. Maka dari itu, kedepan akan kita evaluasi. Harapannya, hasil sharing profitnya bisa signifikan dari apa yang telah kita targetkan,” terangnya, saat dimintai tanggapan di kantornya Jalan Merdeka, Kota Blitar, pada Senin (6/3) lalu.

Selanjutnya Huda membeberkan bahwa hasil sharing profit yang didapat dalam tiga tahun terakhir yakni, tahun 2020 sebesar Rp181.570.499, sedangkan di tahun 2021 turun menjadi Rp65.776.313 karena akibat Pandemi Covid-19. Sedangkan di tahun 2022 naik sebesar Rp215.322.326.

“Itupun dalam laporan BUMDes Desa Tambakrejo untuk pengelolaannya mereka telah melapor merugi. Sehingga, mulai Agustus 2022 meminta tambahan 30 persen dari hasil pengelolaan secara bruto sebelum dibagi ke Pemkab Blitar sebesar 25 Persen, Perhutani Blitar 25 persen, dan BUMDes Desa Tambakrejo 50 persen dari hasil netto,” ungkapnya.

Huda juga mengatakan, kalau setoran dari hasil kerjasama (PKS) itu tidak langsung diserahkan ke Disparbud, namun ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan menjadi pendapatan asli daerah (PAD).

“Semua disetor ke Kas Daerah (Kasda). Kendati demikian kami dalam hal ini Disparbud juga mengganggarkan biaya-biaya operasional, sarana dan prasarana tiap tahunnya melalui APBD,” pungkasnya.

Lebih lanjut, sampai berita ini diterbitkan belum ada keterangan dari pihak pemerintah desa (Pemdes) Tambakrejo untuk mengklarifikasi dugaan ini meski tim serayunusantara.com telah menghubungi kepala desa sebagai penanggungjawab dalam PKS.

Sedangkan Pihak Perhutani Blitar melalui Kepala seksi (Kasi) Hubungan Masyarakat (Humas) juga enggan mengomentari soal dugaan penyalahgunaan wewenang itu meski telah dihubungi wartawan serayunusantara.com berkali-kali. (Jun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *