Kemen PPPA dan MicroSave Consulting Luncurkan Hasil Studi Pekerja Informal Perempuan dalam Ekonomi Digital

Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Indra Gunawan dalam pembukaan Diseminasi dan Diskusi Publik Hasil Penelitian dengan tema “Pekerja Informal Perempuan dalam Ekonomi Digital”, di Jakarta. (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerja sama dengan Microsave (MSC) Consulting Indonesia melakukan Studi Perempuan Dalam Ekonomi Digital: “Meningkatkan Akses Terhadap Pekerjaan Bagi Pekerja Informal Perempuan Dalam Ekonomi Digital” yang dilakukan terhadap 400 pekerja informal perempuan di 9 (Sembilan) Provinsi di Indonesia. Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Indra Gunawan mengungkapkan penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman, hambatan, tantangan, dan pendukung perempuan dalam ekonomi digital.

“Apresiasi kami sampaikan kepada MSC Consulting yang telah mendukung kami dalam melakukan kajian ini sekaligus mengidentifikasi strategi yang dapat mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan yang lebih besar. Penelitian ini dilatarbelakangi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang berada pada kisaran 50% untuk 20 tahun terakhir, jauh di bawah partisipasi laki-laki yang sebesar 80%,” ungkap Indra dalam pembukaan Diseminasi dan Diskusi Publik Hasil Penelitian dengan tema “Pekerja Informal Perempuan dalam Ekonomi Digital”, di Jakarta pada (30/5).

Indra mengatakan meskipun jumlah pekerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki, pekerja perempuan lebih besar kemungkinannya untuk menjadi pekerja informal, sekitar 66% atau 54.5 juta pekerja informal di Indonesia adalah perempuan. Indra menambahkan Indeks Ketimpangan Gender Tahun 2022 di Indonesia, menunjukkan adanya perbaikan namun perbaikan ini dipengaruhi oleh perbaikan kesetaraan capaian pada dimensi kesehatan reproduksi dan pemberdayaan, sedangkan dalam dimensi tenaga kerja yang dilihat dari nilai TPAK perempuan belum terdapat perbaikan yang berarti. TPAK laki-laki sebesar 83,98% dan perempuan sebesar 54,42%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa TPAK laki-laki lebih tinggi sekitar 1,5 kali TPAK perempuan yang dapat diartikan dari 100 orang penduduk usia kerja laki-laki, sekitar 84 orang yang termasuk angkatan kerja (BPS, Sakernas Februari 2023).

“Salah satu hal krusial yang perlu dilakukan untuk menurunkan Indeks Ketimpangan Gender di Indonesia adalah dengan memperbaiki dimensi pasar tenaga kerja. Peningkatan TPAK perempuan salah satunya bisa dilakukan melalui pengurangan beban kerja perawatan yang selama ini lebih banyak ditanggung oleh perempuan. Oleh karena itu, besar harapan hasil penelitian akan menjadi referensi bagi sejumlah pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem kerja yang inklusif, sehingga dapat mendukung pemberdayaan perempuan,” ujar Indra.

Indra mengatakan pengembangan ekonomi digital sangat diperlukan guna mendorong dan membuka akses bagi pelaku pekerja di sektor informal terutama perempuan agar dapat mengembangkan usahanya lebih jauh lagi. Harapannya, hal ini akan memunculkan kesadaran, upaya, partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, swasta, dunia usaha, lembaga masyarakat, mitra pembangunan dan pihak terkait lainnya dalam mendukung tujuan kita bersama, yaitu terwujudnya kesetaraan gender terutama dalam bidang tenaga kerja bagi pekerja perempuan, khususnya pekerja informal dengan mendorong mereka masuk dalam era ekonomi digital.

Baca Juga: Kemen PPPA Memastikan Layanan Kepada Anak Korban Pemerkosaan Ayah Kandung di Jakarta Timur

“Sebagai penutup, izinkan saya untuk menyampaikan harapan bahwa akan ada semakin banyak perempuan yang mampu menginspirasi dan memberdayakan orang lain untuk merangkul potensi mereka sendiri, menembus batasan, dan membangun dunia yang lebih setara. Perempuan yang berdaya adalah perempuan yang mampu menjalankan perannya sebagai ibu dan juga berkarier di berbagai bidang yang menjadi minat dan potensinya. Kita berharap agar semua perempuan Indonesia adalah perempuan yang berdaya sehingga anak terlindungi, dan Indonesia maju,” tutup Indra.

Studi ini berangkat dari keprihatinan terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia yang cenderung stagnan pada kisaran 50% selama dua dekade terakhir, sementara partisipasi laki-laki konsisten pada angka 80%. Tingginya persentase perempuan pekerja dalam sektor informal tak kalah memprihatinkan. Perempuan umumnya lebih termotivasi memasuki dunia kerja informal dengan pertimbangan jam kerja yang fleksibel dan cepat memperoleh pendapatan, karena harus meluangkan waktu untuk memenuhi tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Digitalisasi ekonomi informal pun meningkatkan peluang untuk memasuki sektor kerja informal. Namun, pada akhirnya, fleksibilitas waktu kerja dalam sektor informal justru mengakibatkan perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dengan pendapatan yang lebih rendah.

Lebih lanjut, Senior Manager Gender Equality & Social Inclusion (GESI), MSC Indonesia Consulting, Putu Monica Christy memaparkan temuan kunci dan rekomendasi dari hasil studi dimana pekerja informal perempuan memiliki jam kerja yang panjang tetapi pendapatan yang rendah. Sebagian besar pekerja informal perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Akan tetapi, lebih dari 70% perempuan di sektor informal hanya memiliki pendapatan di bawah tiga juta rupiah per bulan. Perempuan juga menanggung beban ganda karena tetap bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Lebih dari 60% pekerja informal perempuan menghabiskan lebih dari 10 jam per minggu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan.

Monica menambahkan penggunaan layanan keuangan digital oleh pekerja informal perempuan, khususnya mereka yang bekerja secara hybrid dan offline, masih sangat rendah. Pembayaran tunai masih lebih disukai oleh 95% pekerja hybrid dan 99% pekerja offline. Metode pembayaran nontunai, seperti transfer bank, lebih disukai oleh pekerja online (79%) dibanding pekerja hybrid (34%) dan offline (10%). Selain itu, akses mereka terhadap kredit juga masih rendah. Hanya 40% pekerja informal perempuan pernah mengambil kredit formal dan 26% kredit informal. Kredit digunakan untuk memenuhi keperluan produktif, seperti pembelian alat kerja dan bahan baku, serta keperluan konsumtif, seperti untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Studi ini merekomendasikan dukungan bagi pekerja informal perempuan di ekonomi digital melalui beberapa hal. Pertama, layanan keuangan harus menyesuaikan dengan sifat pekerjaan informal dan memperhitungkan norma gender setempat. Kedua, layanan pengasuhan anak perlu diperluas dengan basis komunitas, standar yang ditetapkan, dan mengatasi stigma negatif. Ketiga, perlindungan sosial harus inklusif, khususnya bagi perempuan usia reproduktif dan lanjut usia, dengan skema cuti melahirkan berbayar dan sistem pensiun universal. Terakhir, akses pelatihan dan pengembangan karier harus inklusif, misalnya dengan pendekatan hybrid sehingga dapat diakses baik online maupun offline,” ujar Monica.

Baca Juga: Kemen PPPA Berikan Pendampingan Kasus Siswi SD di Siram Bensin Hingga Terbakar di Sumatera Barat

Setelah pemaparan hasil studi, acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang dipandu oleh Dr. Paksi C.K. Walandouw, peneliti dari Lembaga Demografi UI. Diskusi panel dihadiri para ahli dari berbagai bidang untuk membahas temuan studi dan merumuskan solusi untuk mengatasi hambatan yang dihadapi perempuan informal. Adapun narasumber dalam diskusi panel adalah Dra. Nadlrotussariroh, Direktur Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Dyah Retno Sudarto, National Project Officer for Care Economy ILO, Yasmine Meylia Sembiring, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Sementara itu, bicara tentang tantangan dalam Pekerjaan dan Tanggung Jawab Pengasuhan, Indonesia Country Lead Bill Gates & Melinda Foundation, Mr. Brooke Patterson mengungkapkan perempuan di sektor informal menghadapi beban ganda dari pekerjaan informal dan tanggung jawab pengasuhan yang tidak dibayar. Selain itu, permasalahan jam kerja yang panjang dan tugas pengasuhan yang ekstensif secara signifikan mempengaruhi partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.

“Disisi lain, kurangnya layanan pengasuhan anak (daycare) yang dapat diandalkan dan terjangkau adalah hambatan utama, dengan kurang dari setengah yang memiliki akses ke layanan pengasuhan anak. Serta belum terpenuhinya layanan pengasuhan anak berbasis komunitas menawarkan peluang untuk meringankan beban ini. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya tindak lanjut dengan mengembangkan produk keuangan inovatif yang disesuaikan untuk perempuan di sektor informal, mempromosikan literasi keuangan digital di kalangan perempuan, memperluas dan meningkatkan akses ke layanan pengasuhan anak yang terjangkau, mengadvokasi kebijakan yang memastikan distribusi tanggung jawab pengasuhan yang lebih merata, mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam semua program dan kebijakan yang relevan, dan sesuai dengan prinsip Bill & Melinda Gates Foundation, kebijakan harus dirancang dengan memperhatikan perempuan agar efektif,” ungkap Mr. Brooke.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *