Kemen PPPA Rilis SPHPN dan SNPHAR 2024

Kemen PPPA merilis hasil SPHPN dan SNPHAR tahun 2024. (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan tingkat respon para responden yang menjadi sasaran/target survei cukup tinggi, yaitu lebih dari 80 persen. Hasil SPHPN dan SNPHAR menunjukkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 tentang penurunan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak telah tercapai.

“Survei SPHPN dan SNPHAR adalah survei yang sangat penting karena negara melihat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu krusial di masyarakat. Survei dilakukan untuk mendapatkan data prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di wilayah perkotaan dan pedesaan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak turun. Hasil dari kedua survei menunjukkan penurunan yang berarti, dilihat dari tren prevalensi yang dimulai tahun 2016,” ucap Menteri PPPA.

Menteri PPPA menjelaskan kekerasan terhadap perempuan usia 15-64 tahun menurun dari 9,4 persen pada 2016 menjadi 6,6 persen di 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan terhadap anak-anak yaitu anak laki-laki, prevalensi turun dari 61,7 persen pada 2018 menjadi 49,83 persen, dan untuk anak perempuan dari 62 persen menjadi 51,78 persen. Kondisi ini menurut Menteri PPPA menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak telah berjalan dengan baik.

Hasil SPHPN dan SNPHAR menurut Menteri PPPA memiliki beberapa manfaat sebagai dasar penyusunan kebijakan dan program untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

“Hasil survei SPHPN dan SNPHAR bermanfaat untuk membantu menganalisis risiko kekerasan serta perlindungan yang diperlukan, menjadi masukan penting dalam mengembangkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk program pemberdayaan perempuan, membantu saat melakukan evaluasi dan menyempurnakan kebijakan yang sudah ada, dan menjadi referensi berharga untuk penelitian lebih lanjut tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tutur Menteri PPPA.

Baca Juga: Kemen PPPA dan Kompolnas Kawal Perkembangan Kasus Kekerasan Seksual di Singkawang

Menteri PPPA juga memberikan apresiasi kepada Badan Pusat Statistik, yang telah intens melakukan pendampingan kepada Kemen PPPA dalam penyelenggaraan SPHPN dan SNPHAR mulai dari tahap persiapan pada tahun 2023,hingga tahap pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data.

Pada kesempatan ini, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menyatakan SPHPN tahun 2024 menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15 – 64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan/atau selain pasangan selama hidupnya.      Hasil prevalensi kekerasan SPHPN 2024 lebih rendah dari prevalensi global dimana 1 dari 3 pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya.  Hasil survei 2024, terjadi penurunan prevalensi kekerasan seksual dan/atau fisik terhadap perempuan oleh pasangan dan/atau selain pasangan baik dalam setahun terakhir   (-2,1%) maupun seumur hidup (-2%), jika dibandingkan dengan tahun 2021.  Kekerasan terhadap perempuan cenderung terjadi pada perempuan yang tinggal di perkotaan, berpendidikan SMA ke atas, dan/atau yang bekerja.

Hasil SPHPN juga menunjukkan bahwa pada tahun  2024 prevalensi kekerasan berbasis gender online (KBGO) menurun dan umunnya terjadi pada perempuan usia 15 – 24 tahun. Terjadi pula penurunan praktik sunat perempuan usia 15 – 49 tahun jika dibandingkan dengan tahun 2021. Penurunan juga terjadi pada prevalensi angka KDRT yaitu sebesar 2,5 persen.

Metode analisis yang digunakan SPHPN 2024 menggabungkan analisis kuantitatif dan kualitatif. Survei dilakukan di 38 provinsi di Indonesia pada 14.240 rumah tangga yang tersebar di 1.424 blok sensus. Selain itu hasil tahun 2024 dikomparasikan dengan data hasil analisis tahun SPHPN 2021 dan 2016 yang telah terangkum dalam laporan hasil analisis SPHPN 2021.   Sementara untuk studi kualitatif SPHPN dilakukan dengan wawancara mendalam dan berkelompok di lima Kabupaten/Kota. Hasil studi kualitatif menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran kekerasan diekspektasikan dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan. Paparan informasi mengenai kekerasan banyak didapatkan melalui jejaring pertemanan, pekerjaan, hingga sosial media.

Sementara itu, pada paparannya, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar mengungkapkan SNPHAR dilakukan di 15.120 sampel di 1.512 blok sensus yang tersebar di 189 Kabupaten/Kota.  Dari hasil SNPHAR, diperkirakan sekitar 11,5 juta atau 50,78% anak usia 13-17 tahun, pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.  Pada pengalaman yang lebih baru, yaitu dalam 12 bulan terakhir, diperkirakan sebanyak 7,6 juta anak usia 13-17 tahun atau 33,64% mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih.

Baca Juga: Menteri PPPA Dorong Peran Perempuan dalam Pembangunan Bangsa

Pada tahun 2024, yang dominan adalah kekerasan emosional dimana 45 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13 – 17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional di sepanjang hidupnya.  Untuk pengalaman 12 tahun terakhir, 30 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13 – 17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional atau lebih.  Teman sebaya adalah pelaku kekerasan emosional dengan persentase tertinggi yaitu 83,44% pada laki-laki dan 85,08% pada perempuan (dari responden usia 13 – 17 tahun).   Bentuk kekerasan emosional yang dialami diantaranya dari orangtua (tidak pantas disayang, bodoh, dibentak, diancam, anak yang tidak diharapkan lahir) dan dari teman sebaya (alami diskiriminasi SARA, gerakan tidak senonoh,stigma fisik, bullying atas kondisi fisik dan ekonomi keluarga).

Angka prevalensi kekerasan terhadap anak pada SNPHAR 2024 lebih rendah dari pada tahun 2018, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi tahun 2021, baik pada kekerasan sepanjang hidup maupun dalam 12 bulan terakhir. Dari data ini Nahar menjelaskan bahwa data perbandingan ini tidak dapat dengan sendirinya disimpulkan bahwa terjadi penurunan atau peningkatan angka prevalensi kekerasan terhadap anak.  Menurut Nahar membandingkan kekerasan sepanjang hidup mungkin akan mengandung bias ingatan, karena harus mengingat kejadian dalam waktu yang lebih lama.

SNPHAR 2024 adalah survei rumah tangga nasional dengan menggunakan desain survei kluster empat tahap yang terstratifikasi di 5 wilayah: Sumatera, Jawa & Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Tujuan SNPHAR 2024 untuk mengukur prevalensi kekerasan fisik, emosional dan seksual terhadap anak di Indonesia, mengidentifikasi faktor risiko dan faktor perlindungan dari tindak kekerasan, memperkirakan dampak dari tindak kekerasan, dan mendokumentasikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

Deputi Bidang Statistik Sosial dari Badan Pusat Statistik, Ateng Hartono mengapresiasi atas telah dirilisnya 2 (dua) indikator utama terhadap perempuan dan anak. Ateng berharap hasil SPHPN dan SNPHAR ini dikawal bersama-sama oleh berbagai pihak mengingat isu perempuan dan anak sangat berdampak pada pembangunan manusia Indonesia ke depan. Ateng mengambil contoh dari indikator yang menunjukkan bahwa kekerasan emosional banyak terjadi pada anak-anak dimana jika hal ini tidak cepat ditanggapi oleh stake holders yang beririsan programnya dengan anak-anak maka dikhawatirkan Indonesia Emas 2045 gagal dicapai.

SPHPN dan SNPHAR adalah survei yang memiliki karakteristik dan kekhususan tertentu, baik dalam pelaksanaannya, kuesioner/daftar pertanyaan, petugas pengumpulan data bahkan respondennya. Survei SPHPN dan SNPHAR memiliki tantangan tersendiri untuk memperoleh informasinya karena terkait pengalaman kekerasan yang dialami perempuan dan anak, yang masih sangat terkait dengan masalah budaya, mindset, serta stigma yang berlaku di masyarakat. Survei juga memiliki resiko yang besar, mengingat para responden perempuan dan anak beberapa di antaranya adalah korban kekerasan dalam berbagai bentuk, baik fisik, emosional, dan seksual, serta praktek berbahaya lainnya.

Baca Juga: Kemen PPPA Kawal Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Bangkalan

Dalam survei ini, Kemen PPPA bekerjasama dengan BPS Pusat, Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) selaku pelaksana pengumpulan data SPHPN dengan studi kuantitatif, dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) untuk studi kualitatif, serta Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung selaku pelaksana pengumpulan data SNPHAR

Pada kesempatan ini juga dilakukan peluncuran sistem pemantauan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait anak, yaitu ALIFA (Analisis dan Layanan Informasi Fiskal Terkait Anak). ALIFA adalah kolaborasi yang dilakukan antara Kemen PPPA dengan Kementerian Keuangan dan didukung oleh UNICEF.

“Kami berharap ALIFA dapat dikembangkan menjadi sebuah instrument analisis pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan sehingga pembangunan anak dapat lebih terukur,” ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, . Informasi dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Endah Sri Rejeki.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *