Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono pada saat membuka Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan pada KPH di Jakarta (31/10/2023) (Foto: KLHK RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KLHK RI, Sebagai langkah dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup serta memenuhi komitmen Paris Agreement, Indonesia telah menyusun Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC), Peta Jalan NDC Mitigasi, Updated NDC dan juga Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). Salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim di tingkat tapak adalah adanya upaya yang terorganisir seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Hingga saat ini jumlah unit KPH di Indonesia yaitu sejumlah 532 unit KPH yang terdiri atas 347 unit KPHP dan 185 unit KPHL dengan kelembagaan sejumlah 339 UPTD KPH. Salah satu tugas dan fungsi UPTD KPH yaitu melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pengendalian.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono pada saat membuka Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan pada KPH di Jakarta (31/10/2023), menyampaikan bahwa tatanan yang sudah dikuatkan secara yuridiksi yuridis, diperlukan juga regulasi teknis yang kuat dan didukung oleh Peraturan Menteri dan kemampuan manajerial diperlukan dari Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan dan Kepala UPTD KPH. Selanjutnya, para pihak ini secara bersama-sama membantu Gubernur dalam mendukung penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
“Sebelum menuju ke aksi mitigasi perubahan iklim dan perdagangan karbon sektor di KPH, saya ingin mengajak kepada seluruh Kepala Dinas yang membidangi kehutanan untuk mendampingi Gubernur di seluruh Indonesia,” pinta Bambang.
Bambang menerangkan bahwa telah sejak lama dirinya berharap besar kepada para kepala dinas, yang secara jelas bahwa kewenangan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 untuk mengelola Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam pelaksanaannya.
Baca Juga: Percepat Pemadaman Kebakaran TPA Rawa Kucing, KLHK Terapkan Sistem Injeksi
“Ini penting, karena di tangan Kepala Dinas lah pembangunan kehutanan yang ada di seluruh Indonesia akan bisa berjalan baik, maka dari itu jaga dan kelola Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam satu kesatuan kebijakan,” ucap Bambang.
Peran UPTD KPH pada dasarnya membantu kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan, karena dalam UU No 23 Tahun 2014 tidak ada lagi kewenangan kehutanan di kabupaten tapi dikawal oleh para kepala UPTD KPH. Sekali lagi Bambang menegaskan kepada para kepala KPH untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi hingga pada tingkat tapak, karena hal itu merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan hutan.
Bambang juga menjelaskan bahwa KPH sebagai vektor pembangunan kehutanan di tingkat tapak yang perlu mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Dirinya menekankan, perlunya pengawalan implementasi tugas dan fungsi UPTD KPH dalam pengelolaan hutan lestari dan pengendalian perubahan iklim.
“Kerja-kerja lapangan intensif berbasis tapak (resort based management) perlu terus ditingkatkan dalam menanggulangi triple planetery crisis (perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati),” jelas Bambang.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Kementerian LHK, Drasospolino pada acara tersebut menjelaskan, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres NEK).
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Penuh Kaka Slank dan Komunitas Elektrik Elders
“Untuk mendukung aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan serapan emisi GRK sektor kehutanan diperlukan tata kelola karbon, salah satunya melalui perdagangan karbon,” terang Drasospolino.
Perdagangan karbon dikembangkan karena dinilai berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya ekonomis. Mekanisme perdagangan karbon juga akan berkontribusi untuk mencapai target pengurangan emisi GRK dan pencapaian Net Zero Emission secara global.
Pembiayaan pencapaian target penurunan emisi GRK Nasional dapat berasal dari berbagai sumber yaitu dari mekanisme pasar maupun non-pasar. Pembiayaan melalui mekanisme pasar dapat berasal dari perdagangan emisi dan Offset emisi. Pembiayaan melalui mekanisme non-pasar dapat berasal dari anggaran pemerintah, donor internasional (bilateral dan multilateral) maupun dari swasta.
Aksi Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi GRK dilakukan melalui 3 (tiga) skema yaitu: (1) Mekanisme non pasar Result Based Payment (RBP); (2) Mekanisme berbasis pasar melalui perdagangan karbon; dan (3) Pajak atas karbon.
Dalam skema mekanisme non pasar seperti Result Based Payment (RBP), Indonesia mendapat pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan pengurangan emisi GRK dari kegiatan Deforestasi dan degradasi hutan. Pengakuan itu berupa persetujuan dari GCF untuk mengucurkan dana sebesar 103,8 Juta USD sebagai pembayaran kinerja/ Result Based Payment program REDD+. Hal ini juga menjadi bukti komitmen dan aksi nyata Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Pembayaran Berbasis Hasil (Result Based Payment) REDD+ merupakan pembayaran atas keberhasilan penurunan emisi yang telah diverifikasi oleh Tim Teknis Independen yang ditunjuk oleh sekretariat UNFCCC.
Baca Juga: Negara-Negara ASEAN Sepakat Perkuat Mengatasi Polusi Plastik
Selanjutnya, dalam kegiatan penurunan emisi GRK dengan mekanisme berbasis pasar melalui kegiatan jual beli unit karbon, Drasospolino menyampaikan bahwa perdagangan karbon dapat dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri, baik melalui pasar karbon melalui Bursa Karbon dan/atau perdagangan langsung. Menurutnya, perdagangan karbon merupakan wujud campur tangan Pemerintah yang diharapkan efektif untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim.
Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama yaitu perdagangan emisi dan offset emisi. Mekanisme perdagangan emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade, para pelaku usaha (perusahaan atau organisasi) wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) atau emission cap. Untuk mekanisme offset emisi/ offset karbon, yang diperjualbelikan adalah hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan/penyimpanan karbon. Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan/aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim. Oleh karena itu biasanya pada awal aksi mitigasi yang dilakukan oleh pelaku usaha, harus bisa dibuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice), meliputi praktik/ teknologi sebelum adanya aksi mitigasi untuk mengetahui emisi baseline untuk kemudian pada akhir periode, diukur/diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya melalui proses yang biasa disebut MRV (Monitoring, Reporting and Verification).
Kegiatan Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait peran dan peluang KPH dalam bebrapa hal yaitu: (1) Aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim berupa kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan serapan karbon, dan/atau penyimpanan atau penguatan cadangan karbon; (2) Perdagangan karbon dengan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon; (3) Evaluasi karbon dan pembinaan terhadap kegiatan pelaku usaha perdagangan karbon; dan (4) Peluang pendanaan penguatan tata kelola hutan produksi dan hutan lindung untuk pencapaian implementasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Kegiatan sosialisasi ini turut dihadiri juga oleh para Direktur lingkup Ditjen PHL, Direktur Konservasi Tanah dan Air Ditjen PDASRH, Kepala BP2SDM, Pejabat Eselon II Lingkup Kementerian LHK, Kasubdit Kehutanan Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I Kementerian Dalam Negeri, Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana BPDLH, Kepala Dinas Provinsi yang Membidangi Kehutanan, Kepala BPHL, Kepala KPH, Project Management Unit GCF dan Perwakilan dari Eselon I Lingkup KLHK.***