Blitar, serayunusantara.com – Penjual latto-latto di Blitar lagi ketiban untung, pasalnya bisa meraup cuan sejuta perhari dari berjualan. Omzet besar itu tidak lepas karena latto-latto lagi viral.
Salah satu penjual mainan di Blitar, Eni Oktaviana mengatakan, sebelum tren latto-latto ramai di media sosial, cuan yang didapatkannya tidak terlalu besar. Latto-latto yang dijualnya tidak banyak.
“Kadang 20 latto-latto, kadang 30 latto-latto, tidak menentu sebelum trennya naik,” kata penjual di Toko Bumi Mainan 2, Kota Blitar ini, Senin (17/1/2023).
Dengan penjualan yang tidak terlalu banyak itu, kata Eni, dirinya hanya bisa meruap omzet sekitar Rp 200 ribu. Terkadang sampai Rp 300 ribu.
Baca Juga: Aliansi Masyarakat Blitar Selatan Demo Pemkab Minta Infrastruktur Dibenahi
Namun, pada saat latto-latto ramai di media sosial dan banyak dimainkan anak-anak hingga orang dewasa, penjualannya mengalami peningkatan.
“Kalau ramai seperti ini penjualannya bisa mencapai 100 buah lebih. Pokok ramainya mulai Bulan November 2022, dan puncaknya mendekati tahun baru kemarin,” ujarnya.
Dia menyebut, saat dirinya berhasil menjual latto-latto 100 buah perhari, dirinya bisa mendapatkan omzet hingga Rp 1 juta per harinya.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian & Analisa Sosial Budaya (PAKASDA), Novi Catur Muspita mengatakan, dari perspektif sosiologi menyikapi tren latto-latto sebagai bandwagon effect.
“Fenomena yang cenderung menjadi sebuah tren, dan orang cenderung untuk ngikut. Karena menjadi tren. Apalagi diviriralkan, dan orang menilai itu asyik untuk mengikuti,” katanya.
Selain itu, dirinya menilai latto-latto juga memiliki nilai positif juga, yakni untuk melupakan kepenatan. Sehingga bisa dijadikan sosial healing.
“Karena saat ini orang kan makin sibuk. Bahkan dalam sosiologi memiliki multi peran. Otomatis memiliki tugas yang beragam,” jelasnya.
Dia menyebut, ramainya latto-latto juga bisa dijadikan momentum untuk mengangkat kembali permainan tradisional. Sehingga bisa mengalihkan dari kecenderungan permainan menggunakan gawai.
“Apalagi banyak unsur-unsur positif. Misalnya interaksi sosial. Kemudian juga kerja sama, dan saling menghargai. Jadi bisa terbentuk kepuasan kelompok, bukan hanya kepuasan pribadi,” pungkasnya. (ruf)