Blitar, serayunusantara.com – Sidang kasus dugaan tindak pidana memasuki rumah atau pekarangan tertutup tanpa izin (Pasal 167 Ayat 1 KUHP) dengan terdakwa Parti atau Suparti binti Suratman (54) kembali menyita perhatian publik.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Blitar, Selasa (13/11/2025), menuntut Parti dengan hukuman penjara lima bulan dan meminta agar ia langsung ditahan.
Tuntutan tersebut langsung menuai kritik tajam dari pihak terdakwa dan penasihat hukumnya Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA., didampingi Rachmat Idisetyo, S.H., dan Jakfar Shodiq, S.H., terutama karena kasus ini bermula dari sengketa lahan yang dinilai lebih tepat diselesaikan secara keperdataan, bukan pidana.
Kronologi awal: Sengketa Lahan yang Berujung Pidana
Parti seorang wiraswasta dilaporkan karena dituduh memaksa masuk dan menempati rumah di atas tanah seluas 1.520 meter persegi di Desa Rejoso, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar. Ia mengaku masuk menggunakan kunci cadangan dan menempati bangunan itu untuk membuka toko kelontong.
Tanah tersebut sebelumnya menjadi agunan pinjaman anaknya, Cicik Jafoerin, di PT PNM Ulaam Kesamben. Ketika cicilan macet, aset itu dilelang melalui KPKNL Malang pada 2015 dan dibeli oleh Aris Saputro, yang kini berstatus saksi korban.
Namun, menurut pihak terdakwa, proses lelang tersebut menyimpan banyak kejanggalan.
Kuasa Hukum Menilai Tuntutan Prematur dan Abaikan Proses Perdata
Penasihat Hukum Parti, Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA., menilai JPU terburu-buru membawa perkara ini ke ranah pidana.
“Ini jelas terlalu dini,” ujar Joko tegas.
“Seharusnya perkara seperti ini ditempuh melalui gugatan perdata dan permohonan eksekusi pengosongan terlebih dahulu di pengadilan negeri, bukan langsung dipidana,” tambahnya.
Menurut Joko, seharusnya langkah penyidik dan kejaksaan melewati mekanisme penyelesaian sengketa keperdataan yang menjadi dasar hukum sebelum menentukan adanya unsur pidana.
Kata Joko lagi mengacu keterangan Ahli Perdata, Prof. Dr. Iwan Permadi, memperkuat argumentasi pihak terdakwa. Ia menegaskan bahwa:
Debitur yang enggan mengosongkan objek lelang harus ditangani melalui penetapan ketua pengadilan negeri, bukan laporan pidana. Sebelum ada eksekusi resmi, hak kebendaan masih melekat pada debitur.
Sedangkan setiap pemenang lelang harus dipastikan legalitas materiilnya; jika terjadi cacat hukum, proses peralihan hak dinyatakan bermasalah.
“Hukum memang harus ditegakkan. Tetapi, yang mempengaruhi hukum itu sendiri harus sebagai catatan,” kata Joko.
Dugaan Kejanggalan Lelang: Dari Minimnya Pemberitahuan hingga Indikasi Praktik Non-Prosedural
Diinformasikan bahwa pihak terdakwa mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan soal eksekusi dan lelang dari PT PNM Ulaam Kesamben.
Disamping itu, kuasa hukum juga menyoroti beberapa hal yang dianggap janggal diantaranya:
1. Tidak ada pemberitahuan lelang kepada pemilik awal, Cicik Jafoerin.
2. Diduga adanya kerja sama tidak sehat antara pihak pelapor dan seorang notaris dalam proses peralihan aset.
3. Potensi cacat hukum yang menurut ahli hanya bisa dibuktikan melalui gugatan perdata, sementara hingga kini belum ada gugatan terhadap pemenang lelang maupun saksi korban Aris Saputro.
Terdakwa Mengaku Tidak Menolak Pergi, Asal Ada Pertemuan Klarifikasi
Dalam persidangan, Parti mengakui bahwa dirinya telah dua kali mendapatkan somasi dan dua kali dipanggil dalam pertemuan desa agar meninggalkan lahan tersebut. Namun ia tetap bertahan karena merasa proses lelang tidak transparan dan tanah itu masih sah milik anaknya.
Ia menyatakan bersedia pergi jika difasilitasi bertemu langsung dengan Aris Saputro dan Idam Pamungkas, mantan Kepala Unit PNM Ulaam Kesamben, untuk mengklarifikasi proses lelang.
Parti juga tidak memiliki catatan pidana sebelumnya, sebuah hal yang ditegaskan kuasa hukum sebagai pertimbangan penting bagi majelis hakim.
Kuasa Hukum Akan Laporkan Dugaan Penyimpangan
Menutup pernyataannya, Joko menyebut pihaknya akan melanjutkan temuan dugaan penyimpangan hukum dalam proses lelang tersebut.
“Fakta adanya indikasi kerja sama tidak sehat antara pelapor dan notaris ini akan kami tindak lanjuti dan laporkan,” ujarnya.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Blitar dijadwalkan akan melanjutkan persidangan dengan agenda pembelaan (pleidoi). Publik menantikan apakah hakim akan mempertimbangkan aspek keperdataan dalam kasus ini atau tetap mengikuti jalur pidana sesuai tuntutan jaksa?.(Jun)







