Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Herman Khaeron dalam diskusi Forum Legislasi bertema ‘Menelaah 37 RUU Prolegnas Prioritas 2023’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (10/10/2023). (DPR RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Herman Khaeron membongkar alasan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) terkendala penyelesaiannya, khususnya RUU Prolegnas Prioritas. Diketahui, jelang akhir periodisasi DPR RI 2019-2024, DPR RI pada tahun 2023, telah mengesahkan 37 RUU Prolegnas Prioritas 2023. Dari 37 RUU tersebut hanya 2 RUU usulan DPD RI.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Herman Khaeron mengakui ada sejumlah persoalan yang harus diperbaiki dan dibenahi untuk mendorong target penyelesaian RUU yang masuk dalam Prolegnas prioritas 2023. Selain itu, pembenahan juga penting dilakukan agar RUU hasil produk legislasi DPR dapat memenuhi harapan masyarakat. Sehingga, minim digugat masyarakat melalui judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dalam proses penyusunan RUU, tahapan harmonisasi dan pembulatan RUU sebenarnya tahapan yang cukup krusial dari sejumlah tahapan penyusunan, pembahasan hingga pengesahan RUU, ” ujar Herman Khaeron dalam diskusi Forum Legislasi bertema ‘Menelaah 37 RUU Prolegnas Prioritas 2023’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (10/10/2023), seperti dilansir dari laman DPR RI.
Namun, diakui Herman, adakalanya pasal-pasal yang telah disusun dalam sebuah RUU tidak pernah atau bahkan tidak muncul kembali baik saat pembahasan di tingkat I (komisi dan pansus) maupun di tingkat II (rapat paripurna).
“Hal itu karena Baleg tidak dilibatkan sejak awal tahapan proses penyusunannya. Karena setelah pembulatan dan harmonisasi pada tingkat satu ataupun pada tahapan usul inisiasi DPR, selanjutnya tidak lagi melalui badan legislasi,” ujar Politisi Fraksi Partai Demokrat ini.
Baca Juga: DPR RI Dorong Pemerintah Harus Petakan Faktor Penyebab Bullying Anak
Kemudian, ia mengatakan, Pemerintah juga memiliki andil dalam menentukan pembahasan suatu RUU itu. Sebab, ada RUU yang menjadi usul inisiatif pemerintah, selain usul inisiatif DPR RI dan DPD RI.
“Kalau pemerintah dan DPR setuju, maka proses pengesahan sebuah RUU itu akan cepat diputuskan. Sebaliknya, kalau DPR RI yang harus melibatkan 9 fraksi itu menolak, pasti batal disahkan. Apalagi di internal fraksi-fraksi sendiri akan terjadi perdebatan panjang, maka prosesnya akan lebih lama. Jadi, keputusannya kolektif kolegial,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI ini.
Herman berharap ada pembenahan mekanisme penyusunan RUU ke depan. Semua tahapan utamanya ketika dalam proses harmonisasi dan pembulatan, Baleg perlu dilibatkan. Karena proses awalnya tidak melalui badan legislasi lagi, adakalanya pasal-pasal yang ada dalam RUU yang diajukan tidak muncul.
“Nah pembahasan undang-undang itu tidak melalui lagi badan legislasi, kemudian langsung diputuskan di tingkat I, ” katanya. ***