Menjaga Warisan Leluhur, Pemdes Plosorejo Gelar Kirab Panji Pusaka Setiap Malam Jumat Suro

Blitar, serayunusantara.com – Di tengah arus modernisasi yang semakin kencang, Pemerintah Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, tetap setia menjaga denyut budaya warisan leluhur. Setiap malam Jumat di bulan Suro, desa ini menggelar tradisi sakral Kirab Panji Pusaka, sebuah peristiwa budaya yang menjadi simbol kekuatan sejarah dan spiritual masyarakat setempat.

Kirab ini bukan sekadar pawai malam hari, melainkan ritual penuh makna yang telah diwariskan turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Dengan iringan doa dan lantunan kidung Jawa, masyarakat berjalan kaki mengelilingi desa membawa Panji Pusaka, bendera kuno peninggalan sesepuh desa yang dipercaya memiliki nilai historis dan spiritual tinggi.

Kepala Desa Plosorejo, Bejananto, mengatakan bahwa kirab ini merupakan agenda rutin tahunan yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga menjadi media edukasi dan pelestarian budaya lokal.

“Kirab Panji Pusaka ini bukan sekadar tradisi, tapi simbol identitas dan jati diri warga Plosorejo. Setiap malam Jumat Suro, kami mengajak seluruh warga mengenang perjuangan leluhur yang membangun desa ini dengan penuh pengorbanan,” ujar Bejananto saat sela-sela acara, Jumat malam (19/7/2025).

Kirab dimulai dari makam leluhur atau cikal bakal Desa Plosorejo dan berakhir di kantor desa sebagai titik finish. Dalam prosesi kirab, tampak keterlibatan aktif berbagai elemen masyarakat, mulai dari para tokoh adat, perangkat desa, pemuda Karang Taruna, hingga ibu-ibu PKK, yang seluruhnya mengenakan busana tradisional, menambah kekhidmatan dan nuansa budaya dalam acara tersebut.

Prosesi penyerahan pusaka kepada Kepala Desa Plosorejo, Bejananto oleh tokoh setempat setelah diarak.
Prosesi penyerahan pusaka kepada Kepala Desa Plosorejo, Bejananto oleh tokoh setempat setelah diarak.(Foto: Istimewa)

Selain panji-panji pusaka, salah satu elemen paling mencolok dan sarat makna dalam Kirab Panji Pusaka di Desa Plosorejo adalah gunungan sebuah susunan hasil bumi yang ditata menyerupai gunung dan dibawa dalam prosesi kirab.

Gunungan ini dibuat dari beragam hasil panen warga seperti padi, jagung, singkong, pisang, cabai, hingga sayur-mayur, yang merupakan simbol kemakmuran, rasa syukur, dan harapan akan panen yang melimpah.

Keberadaan gunungan bukan sekadar pajangan, tetapi memiliki makna filosofis mendalam. Dalam tradisi Jawa, gunungan mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ia juga menjadi simbol persembahan kepada Sang Pencipta dan penghormatan terhadap leluhur.

Baca Juga: Dorong Polisi Tangkap Provokator di Pengesahan, Ketua PSHT Blitar : Saya Ada Bukti

Gunungan tersebut diarak bersama panji-panji pusaka dengan penuh khidmat, lalu di akhir kirab akan diperebutkan oleh warga dalam tradisi yang disebut berebut berkah. Suasana ini pun memunculkan semangat kebersamaan dan gotong-royong, yang selama ini menjadi jantung kehidupan desa.

Warga setempat, Sumarni (55), mengaku selalu menantikan momen ini setiap tahun. Menurutnya, suasana sakral dan guyub saat kirab berlangsung menghadirkan rasa syukur dan kedekatan antar warga yang kian erat.

“Ini bagian dari cara kami menghormati para pendahulu. Anak-anak muda juga harus tahu, bahwa desa ini berdiri bukan dari kosong. Ada perjuangan dan sejarah yang mesti kita hormati,” ungkap Sumarni dengan mata berbinar.

“Yang menarik bagi masyarakat, yakni saat diadakan selamatan atau kenduri, serta grebeg gunungan. Hal ini sebagai simbol berkah dan kemakmuran masyarakat,” tambahnya.(Jun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed