Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam Youth Conservation Fest 2024 (#YCFest2024) di Taman Wisata Alam Mangrove Angke. (Foto: KLHK RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KLHK RI, Tiga krisis planet (Triple Planetary Crisis) kini tengah melanda bumi. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati serta penumpukan berbagai limbah dan polusi menjadi permasalahan lingkungan yang saling berkaitan dalam tiga krisis planet. Isu ini menjadi ancaman yang serius bagi kehidupan semua makhluk hidup dan ekosistem.
Dalam perjalanannya, banyak pihak telah mengalami kegelisahan akan fenomena alam yang berkaitan dengan krisis ini. Keinginan kuat untuk mempertahankan eksistensi kehidupan di bumi, memunculkan berbagai inisiatif dan gerakan yang diharapkan mampu meredam laju krisis yang terjadi. Youth Conservation Fest 2024 (#YCFest2024) hadir sebagai salah satu bentuk inisiasi yang melibatkan generasi muda dalam upaya pelestarian lingkungan dengan tema “Let’s Fight Triple Planetary Crisis”. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Badan Restorasi Gambut dan Mangrove(BRGM) , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Institut Hijau Indonesia (IHI) untuk menghimpun semangat generasi muda dalam memerangi isu lingkungan yang kian genting.
Youth Conservation Fest 2024, dilaksanakan dari tanggal 24 September – 3 Oktober 2024, dengan serangkaian aktivitas menarik diantaranya #YCChallenge melalui media sosial, Kegiatan #YCTrip Kamojang, Jawa Barat untuk mengenal konservasi elang jawa dan energi terbarukan, dan #YCTrip di provinsi Riau terkait kegiatan restorasi gambut dan mangrove, serta #YCCamp, untuk mengenalkan anak muda terkait konservasi ekosistem pesisir di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Pembukaan #YCFest2024 digelar di Taman Wisata Alam Mangrove Angke, bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila. Para peserta diajak mendalami merayakan nilai-nilai dasar landasan negara Indonesia, serta pentingnya konservasi lingkungan hidup. Selain itu, rangkaian dialog interaktif melalui #YCDialogue juga digelar. Tujuannya, memberikan pemahaman mengenai Triple Planetary Crisis, mitigasi perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati serta pengendalian polusi.
Kepala BRGM, Hartono hadir memberikan pengetahuan kepada anak muda terkait Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan dan Triple Planetary Crisis. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Satyawan Pudyatmoko juga hadir berdialog bersama generasi muda membahas Konservasi Keanekaragaman Hayati. Tidak hanya sekedar berdialog, pada akhir sesi, para peserta berpartisipasi aktif dalam focus group discussion guna memberi kesempatan kepada para peserta untuk mendiskusikan solusi inovatif dalam usaha konservasi alam sesuai topik yang diangkat .#YCDialogue ini juga menjadi wadah anak muda melahirkan inisiatif baru di bidang konservasi serta mampu melahirkan komitmen bersama mengenai langkah-langkah sederhana untuk meredakan permasalahan lingkungan sesuai dengan topik yang diangkat.
Baca Juga: Ambassadors Bamboo Bike Club Diplomasi dengan Fun, Substansi dan Perspektif Politik
Dalam dialog disampaikan bahwa, perubahan iklim menjadi persoalan paling mendesak dan sudah banyak dirasakan efeknya pada kehidupan umat manusia saat ini. Pelepasan emisi karbon akibat aktivitas manusia menjadi penyebab utama meningkatnya laju perubahan iklim. Rusaknya tatanan kehidupan di Bumi menjadi momok menyeramkan jika tidak ada upaya yang dilakukan dalam membendung laju perubahan iklim. Pasalnya, emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia secara tidak sadar dapat memberikan ripple effect yang buruk, sehingga sistem penyangga kehidupan tidak dapat memerankan fungsinya dengan baik. Dengan begitu, secara perlahan kehidupan di planet ini akan musnah.
Triple Planetary Crisis juga memiliki kaitan erat dengan perubahan keanekaragaman hayati. Dikutip dari EPA (United States Environmental Protection Agency), dampak perubahan iklim mampu mempengaruhi distribusi geografis dan siklus hidup berbagai spesies flora dan fauna termasuk migrasi dan reproduksi. Keanekaragaman hayati erat kaitannya dengan jumlah spesies yang eksis di bumi. Keberadaan spesies satu dan yang lainnya saling bergantung serta memiliki peran yang tidak dapat tergantikan. Oleh karena itu, hilangnya berbagai macam spesies mampu mengakibatkan ketimpangan sistem penyangga kehidupan. Peran Generasi muda, menjadi penting sebagai Agent of Change pelestarian lingkungan.
Tahun ini, merupakan tahun pertama pelaksanaan #YCFest2024 yang dihadiri oleh 60 peserta yang tergabung dalam Green Leader Indonesia (GLI), salah satu inisiatif Institut Hijau Indonesia dari berbagai batch. Turut hadir Siti Nurbaya selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Siti Nurbaya mengatakan bahwa acara #YCFest2024 ini menjadi wujud pelibatan generasi muda dalam konservasi lingkungan hidup. “Kita sudah mengikuti animo generasi muda dalam kegiatan pemulihan lingkungan hidup sekitar 5 – 7 tahun, sekarang manfaat dari inisiatif generasi muda dalam pemulihan lingkungan hidup sudah terlihat, salah satunya melalui green leaders indonesia(GLI). KLHK dan BRGM melalui #YCFest2024 mengajak generasi muda secara khusus konservasi. Konservasi dipilih karena dalam pengelolaan dan perlindungan hutan, konservasi merupakan benteng terakhir dari penjagaannya, ” ucap Siti.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Hartono berharap kegiatan #YCFest2024 ini generasi muda dapat merumuskan solusi dalam upaya konservasi Lingkungan hidup. Hartono mengatakan, “Peran dari generasi muda dalam konservasi ini sangat besar. Seperti yang kita ketahui Saat ini, dunia telah melampaui 6 dari 9 batas-batas planet atau sistem penyangga kehidupan. Melalui #YCFest2024 ini generasi muda yang berasal dari IHI berbagi pengalaman, dan berperan aktif dalam merumuskan langkah adaptasi tersebut, dimulai dari diri sendiri, dan mengajak orang-orang di sekitarnya,”ucap Hartono.
Baca Juga: Menyongsong Lahirnya Taman Nasional Meratus
Salah satu peserta #YCFest2024, Hanna Adelia Runtu membagikan pengalamannya sebagai tokoh penggerak restorasi mangrove dan ekosistem untuk kesejahteraan masyarakat pesisir di Ketapang, Kalimantan Barat. Pongo-dopsi, merupakan bentuk inisiatif yang didirikan oleh Hanna dalam mengembalikan ekosistem pesisir menurutnya kunci keberhasilan konservasi merupakan kolaborasi mulai dari pemerintah pusat hingga masyarakat setempat. Hingga saat ini, Hanna telah melibatkan 50 petani mangrove, dan telah melakukan pongo-dopsi 3500 bibit mangrove.
“Sebagai generasi muda kita harus bergerak aktif dalam konservasi lingkungan. Restorasi mangrove ini bisa kita lakukan karena ini merupakan tanggung jawab bersama. Kuncinya adalah kolaborasi, kita perlu mengajak peran aktif masyarakat yang terdampak. Saat ini, para petani mendapatkan peningkatan kapasitas untuk melakukan monitoring mangrove yang efektif, serta melibatkan peran perempuan dalam pembuatan eco polybag dalam penanaman bibit,” Kata Hanna.
Para peserta yang hadir dalam #YCFest2024 menyampaikan gagasan berupa inovasi sebagai solusi dalam menghadapi tiga krisis planet. Harapannya peserta akan menjadi kader-kader konservasi yang lebih aware terhadap isu lingkungan global, khususnya terkait perubahan iklim, perlindungan kehati dan pengendalian polusi. Tidak berhenti di situ, harapannya peserta juga mampu menularkan semangat konservasi yang sama kepada masyarakat luas.***