John Lobo (berkaus hitam) turut serta melakukan kerja bakti pembangunan masjid. (Foto: Menag RI)
Mojokerto, serayunusantara.com – Sebagai seorang pemeluk agama Katolik, saya tak pernah membayangkan akan menjadi bagian Panitia Pembangunan Masjid. Tapi jalan kehidupan, nyatanya membuat saya terlibat dalam pembangunan Masjid Sirathal Mustaqim, yang terletak di RW 13, Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto pada Juli 2018.
Pengalaman ini berawal dari tugas saya selaku Ketua Rukun Tetangga (RT) 07/RW 13, Desa Japan. Di desa ini, saya yang terlahir dengan nama Yohanes Donbosco Lobo biasa disapa dengan John Lobo. Warga RT 07 telah memilih saya sebagai Ketua RT sejak 2018. Sebagai Ketua RT, maka tak heran kalau saya kerap hadir dalam Rapat Rukun Warga (RW).
Saya juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan baik di tingkat RW maupun desa, seperti kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrengbangdes). Mulai dari sosialisasi berbagai kebijakan daerah, cara penanganan masalah sampah, pembangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga pembangunan masjid.
Pengalaman yang terakhir ini, tak akan saya lupakan. Ini sangat berkesan bagi saya yang sehari-hari berdinas sebagai Guru Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Di Desa Japan ini, saya betul-betul merasakan bagaimana kehidupan masyarakat yang sangat inklusif.
Saat saya dipercaya menjadi Ketua RT, jumlah warganya sekitar 234 jiwa dari 78 Kepala Keluarga. Dari jumlah itu, keluarga saya, satu-satunya yang beragama Katolik.Meski menjadi satu-satunya keluarga Katolik, saya pegang prinsip inklusif dalam pergaulan, terlibat aktif dalam kehidupan bersama, dan menjunjung tinggi budaya setempat.
Baca Juga: Kemenag Siapkan Layanan Haji Ramah Lansia, Ini Rinciannya
Panitia Pembangunan Masjid
Pada 18 Agustus 2021, dalam sebuah rapat rutin, dibicarakan masalah pembangunan masjid di lingkungan fasilitas umum (Fasum) RW 13 Japan Asri-Pitaloka. Dalam rapat itu dibahas pula pembentukan panitia pembangunan masjid. Sebagai salah satu Ketua RT, saya dilibatkan dalam panitia. Saya dipercaya dalam panitia sebagai seksi hubungan masyarakat (Humas).
Tugas saya mengumpulkan dukungan persetujuan warga terkait keberadaan Fasum yang akan dipakai dalam pembangunan rumah ibadah masjid dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak perihal proses hingga selesainya pembangunan masjid.
Dalam perjalanan waktu, nyali saya kadang ciut ketika mengumpulkan tanda tangan dukungan warga untuk pembangunan masjid di kompleks Fasum RW. Komentar dan pertanyaan kritis muncul dari teman-teman Muslim.
“Pak John, panjenengan (Anda) itu bukan Muslim mengapa meminta tanda tangan perihal penggunaan Fasum kepada umat Muslim. Bahkan terlibat langsung dalam panitia pembangunan Masjid?,” komentar salah satu warga.
Mendengar komentar itu, saya tersenyum. Saya pun menyampaikan permohonan maaf, sambil menjelaskan tugas saya sebagai Ketua RT, yang mesti hidup bersama di tengah masyarakat.
Saya kira ini tahapan yang paling sulit yang akan saya lewati. Namun, nyatanya saya mengalami kemudahan ketika menyampaikan proposal dan permohonan donasi warga.
Doa juga selalu saya panjatkan kepada Tuhan agar mendapatkan kemudahan. Setiap hendak melangkahkan kaki keluar rumah untuk menjumpai warga dalam urusan pembangunan masjid, saya selalu berdoa singkat agar mendapatkan tanggapan positif dari warga. Tentu, saya berdoa secara Katolik, dengan membuat tanda salib.
Baca Juga: Kemenag Targetkan Buku Nikah Beralih Digital di 2023
Turut Usulkan Nama Masjid
Tak sampai di situ. Kejadian unik lain saya alami ketika pertemuan di sebuah angkringan café kuno milik warga di RW 13. Sekitar 11 orang perwakilan tiap RT, tokoh agama dan masyarakat, bertemu. Pertemuan ini atas undangan penasihat pembangunan, dengan agenda memilih nama masjid yang akan dibangun.
Saat itu penasehat meminta tiap anggota membawa usulan dua nama yang bakal dipilih sebagai nama masjid. Dua nama mesti berbeda. Ada delapan RT, total 18 usulan nama. Lalu dikocok seperti arisan, nama yang keluar bakal menjadi nama masjid yang akan dibangun.
Inilah awal yang sulit bagi saya. Maka saya pun meminta nasihat nama masjid yang saya usulkan. Akhirnya saya memasukan sepotong kertas yang digulung dengan tertulis sebuah nama. Ketika dikocok, keluar golongan kertas kecil bertuliskan Al-Iqlas. Itu usulan nama pertama yang saya tulis.
Saya pun tersenyum meski mulut terbalut masker warna putih. Hati kecil saya berkata, “Al-Iqlas itu pilihan saya.” Namun, nama itu akhirnya dianulir, beberapa tokoh agama menimbang nama itu telah dipakai oleh musholla di sekitar perumahan kami. Saya pun mengikhlaskan dan memberi kesempatan untuk mengocok undian lagi
Kocokan kedua keluarlah nama Sirathal Mustaqim. Bagi saya nama itu punya kedalaman makna. Bagi saya nama tidak sekedar diberikan atau dilekatkan begitu saja pada sesuatu. Begitupun dengan nama bakal masjid yang muncul atau keluar setelah diundi. Sirathal Mustaqim berarti jalan yang lurus.
Demikian harapan yang tersirat bahwa masjid yang dibangun tepat di RT 05 RW 13 Japan Asri tersebut adalah sarana ideal yang membawa jemaah untuk menggapai kesalehan hidup.
Proses pelaksanaan pembangunan Masjid diserahkan sepenuhnya kepada warga RT.05 mengingat keberadaanya terletak di area tersebut sekaligus mengobati kerinduan warga setempat akan kehadiran tempat ibadah. Itu juga karena sebagian besar RT di RW 13 telah memiliki musholla.
Dibawah arahan ketua RT setempat warga saling bahu membahu untuk dan bekerja sama membangunnya. Sedangkan untuk konsumsi didukung oleh kelompok dasa wisma dari keseluruhan RT yang ada, termasuk istri saya sebagai ketua Dasa Wisma RT.07.
Artikel ini telah ditayangkan di Katolikana dengan judul: “Kisah Kecil Saya, Seorang Guru Katolik yang Ikut Membangun Masjid”