Blitar, serayunusantara.com – Aroma dapur kantin sekolah yang dulu akrab tercium setiap jam istirahat kini mulai memudar. Sejak digulirkannya program Makan Bergizi Gratis (MBG), sejumlah pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari kantin sekolah, omzetnya menurun dan perlahan mulai terpinggirkan.
Kehadiran pihak ketiga yang ditunjuk sebagai penyedia makanan dalam program MBG menciptakan fenomena baru: munculnya “warung-warung raksasa” yang memonopoli suplai makanan ke sekolah-sekolah. Skema yang semula digadang-gadang sebagai wujud keadilan gizi bagi siswa, kini menimbulkan ketimpangan ekonomi di tingkat akar rumput.
“Dulu saya bisa masak dan jualan setiap hari di kantin sekolah. Sekarang, sejak ada MBG, semua makanan sudah dikirim dari luar. Kami hanya bisa menonton truk datang dan anak-anak makan tanpa menengok ke kantin lagi,” ujar Sri (51), pemilik kantin di salah satu sekolah dasar (SD) Negeri di Blitar mengeluh kepada awak media ini dengan nada getir.
Ia mengaku, omzet yang dulu cukup untuk biaya hidup kini nyaris tak tersisa. Beberapa rekannya bahkan memilih menutup lapak karena tak lagi ada pembeli. “Programnya bagus, tapi caranya tidak adil,” tambahnya.
Di sisi lain, sejumlah pihak menilai sistem pengadaan dalam MBG belum berpihak pada pelaku usaha mikro di lingkungan sekolah. Mekanisme tender dan distribusi terpusat membuka peluang bagi segelintir penyedia besar untuk menguasai rantai pasokan.
“Ini seperti pasar baru yang dikuasai segelintir pemain besar. Padahal, semangat awal MBG adalah pemerataan dan pemberdayaan ekonomi lokal,” kata Dosen dan Pemerhati Kebijakan Publik, Universitas Islam Blitar, Hamzah Abdilah, menyoroti dampak sosial program tersebut.
Baca Juga: Tragedi Keracunan MBG Menimpa Puluhan Siswa SMPN 1 Boyolangu
Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya mengadopsi model kolaboratif yang melibatkan UMKM sekitar sekolah dalam rantai penyediaan bahan pangan.
“Kalau yang diuntungkan hanya vendor besar, maka MBG berubah dari program sosial menjadi bisnis makanan massal,” tegasnya.
Selain itu, Hamzah berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap keluhan para pencari nafkah kecil yang kini kehilangan sumber penghasilan akibat program MBG.
Menurutnya, mereka yang selama ini bertahan hidup dari kantin sekolah layak mendapat perhatian dan solusi nyata.
“Kalau pemerintah peka, seharusnya dampak sosial dari program MBG ini segera dicari jalan keluarnya. Misalnya dengan melibatkan para pedagang kecil dalam proses teknis penyediaan makanan,” tutur Hamzah.
Sementara itu, sejumlah pemerhati pendidikan menilai keberadaan kantin sekolah tidak semata soal ekonomi, melainkan juga ruang sosial yang membentuk karakter anak.
“Di kantin, anak-anak belajar antre, menghargai pedagang, bahkan mengelola uang jajan. Itu bagian dari pendidikan sosial yang tak tergantikan oleh sistem katering massal,” tutur Thoha Ma’ruf, anggota Forum Reboan, yang juga mantan Ketua PC PMII Blitar 2024/2025.
Baca Juga: Dua Dapur MBG Baru Diresmikan, Sepertiga Sasaran di Kota Blitar Terlayani
Kini, di tengah sanjungan atas keberhasilan MBG menekan angka gizi buruk, masih ada cerita senyap dari para penjaga kantin yang perlahan kehilangan ruang hidupnya.
Sebuah ironi, ketika program bergizi justru menimbulkan “kelaparan ekonomi” bagi mereka yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem sekolah.
“Kami tidak menolak program pemerintah,” kata Sri menutup percakapan. “Kami hanya ingin diberi kesempatan untuk tetap hidup di sekolah kami sendiri.” (Jun)







