Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati. (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Rentetan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terungkap belakangan ini menjadi peringatan keras bagi seluruh masyarakat Indonesia bahwa kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi di ranah domestik harus di tangani dengan serius. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus mengajak dan mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan deteksi dini KDRT di lingkungan keluarga melalui penguatan dalam keluarga dan melaporkan dugaan KDRT ke pihak berwajib.
“Sungguh menjadi keprihatinan kita bersama atas terjadinya peristiwa naas di kalangan masyarakat seperti kasus di Jagakarsa dan Malang yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang termasuk anak-anak akibat adanya dugaan KDRT. Apalagi, kita baru saja menyelesaikan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP), dimana momentum ini seharusnya menjadi titik balik perlindungan terhadap perempuan, namun kita justru mendengar berita-berita yang begitu memilukan dan memprihatinkan. Kedua kasus tersebut merupakan segelintir contoh dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan menjadi tamparan besar bagi semua pihak bahwa KDRT tidak dapat lagi dipandang sebelah mata,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati dalam keterangannya, Sabtu (16/12).
Ratna mengemukakan, dominasi korban kasus KDRT adalah perempuan dan anak yang merupakan bagian dari kelompok rentan. Beragam faktor pemicu terjadinya KDRT seperti ekonomi, komunikasi dan masalah sosial lainnya dalam rumah tangga, juga kerap memicu berbagai jenis kekerasan lainnya yang berdampak secara signifikan terhadap kondisi kesehatan baik fisik dan psikis, serta kesejahteraan korban. Bahkan dalam beberapa contoh nyata seperti yang terjadi, KDRT mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
“Kami tidak pernah lelah untuk selalu mengingatkan bahwa kasus KDRT bukanlah aib yang penyelesaiannya dilakukan sebatas di ranah keluarga semata, tetapi perlu adanya intervensi dari pihak-pihak yang berpengalaman dan berwajib sebelum berakibat fatal bagi korban. Dalam hal menjamin perlindungan dan keadilan bagi korban KDRT, Pemerintah Indonesia memiliki payung hukum seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hingga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” jelas Ratna.
Baca Juga: Peringati Hari Ibu ke-95, Menteri PPPA Serahkan 250 Paket Bantuan Pemenuhan Hak Anak
Ratna mengajak seluruh pihak untuk terus menyuarakan dan memasifkan berbagai kampanye maupun gerakan bersama untuk meningkatkan kesadaran sosial kepada masyarakat luas untuk memberanikan diri bersuara melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Baik itu korban, keluarga korban, ataupun masyarakat luas yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami tindak KDRT ataupun kekerasan lainnya untuk berani melaporkan ke lembaga penyedia layanan dan pengaduan terdekat seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Forum Pengada Layanan (FPL), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Kemen PPPA, hingga Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
“Kemen PPPA telah memiliki kanal pengaduan layanan SAPA 129 yang dapat diakses melalui WhatsApp 08111-129-129 atau Hotline 129. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, layanan SAPA 129 memberikan pelayanan pengaduan, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan akses penampungan sementara. Kami juga terus menyosialisasikan gerakan melawan tindak kekerasan melalui kampanye ‘Dare to Speak Up’ atau Berani Berbicaya yang terus mengajak dan mendorong keberanian masyarakat untuk melapor,” ungkap Ratna.
Selain upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas, Ratna juga menegaskan, penguatan dalam keluarga harus menjadi upaya yang terus dilakukan secara berkelanjutan. Perlu dilakukan penguatan dalam keluarga yang dimulai sejak dini untuk mencegah kondisi ketidakharmonisan yang menjadi pemicu awal KDRT. Adapun penguatan dalam keluarga yang dapat dilakukan seperti: (1) mempersiapkan mental sebelum berumah tangga, dengan memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender dalam keluarga melalui materi kursus calon pengantin; (2) memberikan edukasi pentingnya komunikasi yang baik antara suami dan istri, rasa saling percaya, saling menghargai dan pengertian agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis; (3) peningkatan keimanan yang kuat, akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga KDRT tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran; (4) pelibatan laki-laki dalam pencegahan KDRT melalui kampanye He for She; dan (5) penyediaan layanan bagi keluarga berupa konsultasi/konseling keluarga.
Lebih lanjut, Ratna menambahkan bahwa di dalam keluarga harus terjalin komunikasi yang terjalin dengan baik antar anggota keluarga untuk meminimalisir terjadinya KDRT. “Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil di masyarakat. Dalam memberikan rasa aman dan perlindungan, maka di dalam keluarga harus terjalin komunikasi yang baik, terbuka, saling mendukung, terbangunnya kepercayaan dan empati, serta setara. Seringkali, konflik yang terjadi di dalam keluarga bermula dari kurangnya keterbukaan dalam berkomunikasi dan hal tersebut dapat dicegah apabila terjalinnya komunikasi yang baik di antar anggota keluarga,” tandas Ratna.***