Jakarta, serayunusantara.com — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memastikan akan terus mengawal kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kota Kupang dan yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menegaskan bahwa pihaknya akan memastikan penanganan dan pemulihan terhadap anak korban kekerasan seksual berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak.
“Kami mengapresiasi semua pihak yang telah bertindak cepat dalam pengungkapan kasus dan pendampingan kepada anak-anak korban. Sejak 24 Februari, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk pemindahan korban untuk mendapatkan perlindungan yang lebih baik. Koordinasi antara berbagai pihak, seperti Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda NTT dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTT dan juga Kota Kupang, menunjukkan sinergi yang baik dalam menangani kasus ini. Sejauh ini terdapat tiga anak korban masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, 16 tahun, dan seorang perempuan dewasa berusia 20 tahun. Mereka telah diidentifikasi dan mendapat pendampingan psikososial yang diperlukan untuk mendukung proses pemulihan mereka,” ujar Nahar dalam konferensi pers, Kamis (13/3/2025).
Selain pendampingan psikososial, Nahar mengatakan pemerintah juga terus berupaya memastikan bahwa anak-anak korban mendapatkan hak dan perlindungan khusus sesuai dengan kebutuhan mereka. Ia menegaskan bahwa proses ini masih panjang dan akan terus dipantau agar anak-anak tidak mengalami dampak negatif yang lebih luas akibat kasus yang mereka hadapi.
“Kami bersama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Kepolisian Nasional, dan Direktorat Tindak Pidana PPA-PPO Bareskrim Polri akan terus melakukan berbagai upaya agar seluruh anak yang terlibat dalam permasalahan ini mendapatkan perhatian yang sama. Dalam memberikan perlindungan khusus bagi anak, terdapat empat aspek utama yang harus diperhatikan agar proses ini dapat berjalan efektif dan menyeluruh. Aspek pertama adalah penanganan cepat untuk menghindari dampak yang lebih besar bagi anak. Kecepatan dalam merespons kasus sangat penting agar anak tidak mengalami trauma berkepanjangan. Kedua, setelah korban teridentifikasi, pendampingan psikologis harus segera diberikan guna membantu anak dalam mengatasi tekanan emosional akibat kejadian yang dialaminya,” kata Nahar.
Selanjutnya, aspek ketiga adalah dukungan terhadap kebutuhan anak selama masa pemulihan. Anak yang mengalami kejadian traumatis membutuhkan bantuan dalam berbagai bentuk, baik berupa kebutuhan dasar maupun dukungan lainnya agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan dengan lebih baik. Terakhir adalah pendampingan dan perlindungan selama proses hukum berlangsung, sehingga hak-hak anak tetap terjamin hingga kasus tersebut selesai ditangani.
Baca Juga: Menteri PPPA Hadiri Sidang Komite Status Perempuan Ke-69 di Markas Besar PBB
Nahar mengingatkan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, baik keluarga, masyarakat, maupun seluruh elemen pemerintah dan lembaga terkait. Ia menegaskan bahwa kerja sama dalam perlindungan anak tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga melibatkan koordinasi lintas negara.
“Kemen PPPA menekankan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, baik dari keluarga, masyarakat, hingga jaringan nasional dan internasional. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan bagi korban benar-benar terwujud, sekaligus memastikan sistem perlindungan anak semakin kuat untuk mencegah kasus serupa di masa depan,” pungkas Nahar.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan bahwa tersangka terbukti melanggar kode etik berat setelah Polri melakukan proses kode etik dan bersamaan atau simultan dengan tindak pidananya. Tersangka dapat dijerat pasal Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, Pasal 8 huruf c angka 1, Pasal 8 huruf c angka 2, Pasal 8 huruf c angka 3, Pasal 13 huruf d, Pasal 13 huruf e, Pasal 13 huruf f, dan Pasal 13 huruf g angka 5 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Pasal berlapis dengan kategori berat itu dijunto ke Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri. (Serayu)