Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari AJI Indonesia, AJI memenuhi undangan Dewan Pers sebagai pemantik diskusi terkait pentingnya Pedoman Peliputan Kekerasan Seksual serta SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perusahaan Media.
Kegiatan yang digelar Senin 15 Mei 2023 di Gedung Dewan Pers itu dihadiri oleh anggota Dewan Pers Arif Zulkifli dan Asep Setiawan, serta wakil perusahaan media dan asosiasi perusahaan media.
Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas mengatakan ada dua persoalan di dunia jurnalisme terkait isu kekerasan seksual yakni media masih memproduksi pemberitaan yang tidak berperspektif korban serta maraknya kekerasan seksual yang menimpa jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.
Berita yang tidak berperspektif korban antara lain ditunjukkan dengan penggunaan judul, diksi dan isi yang bias, menormalisasi kekerasan seksual serta memberi stigma korban sebagai pemicu kekerasan seksual.
Baca Juga: Kemenag Gandeng Jurnalis Edukasi Layanan Haji Ramah Lansia
Selain bias-bias tersebut, media kerap memberitakan kekerasan seksual hanya sebagai peristiwa. “Media melupakan bagaimana perjuangan korban mencari keadilan, dampak berlapis yang mereka alami, serta hak pemulihan yang tidak semuanya didapat oleh korban,” kata Ika.
Problem kedua, lingkungan media belum menjadi ruang aman bagi jurnalis perempuan dari kekerasan seksual. Survei AJI bersama PR2Media di awal 2023 menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual itu berasal dari atasan, rekan kerja, dan narasumber. Sayangnya sebagian besar perusahaan media tidak memiliki mekanisme untuk menangani kekerasan seksual tersebut sehingga korban menghadapi berbagai dampaknya seorang diri dan kekerasan kembali berulang.
“Perusahaan media memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam melawan kekerasan seksual, baik di masyarakat melalui pemberitaan, termasuk kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kerja,” katanya.
Untuk mewujudkan itu, perusahaan media harus memberikan pelatihan tentang kesetaraan gender dan kekerasan seksual kepada semua staf perusahaan; membuat kanal pengaduan yang aman, adanya tim penanganan kasus berperspektif korban, pendampingan hukum, dan dukungan pemulihan psikososial hingga ekonomi.
Oleh karena itu, menurut Ika, inisiatif Dewan Pers untuk membuat Pedoman Peliputan Berita tentang Kekerasan Seksual dan kebijakan untuk mendorong perusahaan media memiliki SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, harus menjadi momen untuk mewujudkan media yang lebih inklusif dan dunia yang bebas dari kekerasan.
Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, Dewan Pers berkomitmen penuh untuk membuat Pedoman Peliputan tentang Kekerasan Seksual agar Media memahami bagaimana melaporkan isu kekerasan seksual secara beretika dan melindungi korban kekerasan seksual.
“Isu kekerasan seksual ke depannya dapat menjadi materi dalam Uji Kompetensi Wartawan dan ada tidaknya SOP dapat menjadi indikator dalam verifikasi pendataan media yang dilakukan Dewan Pers,” kata Arif.
Setelah diskusi tersebut, Dewan Pers segera akan membentuk tim untuk menyusun Pedoman Peliputan Kekerasan Seksual. ***