Hadapi Pemilu 2024, Pemerintah Dianggap Perlu Miliki Alat Sadap

Jakarta, serayunusantara.com – Pada liputan Indonesialeaks (12 Juni 2023) tentang Hantu Pegasus di Indonesia, terungkap bahwa alat sadap produk Israel seperti Pegasus, Circles telah masuk ke Indonesia. Alat sadap ini dibuat oleh perusahaan NSO Group untuk keperluan keamanan, terutama pada kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, narkoba.

Indonesialeaks menemukan fakta bahwa alat sadap ini tidak hanya untuk keamanan, tapi juga digunakan untuk kepentingan politik, khususnya pada Pemilu 2019. Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun pengadaan alat sadap ini tidak sulit dilakukan. Bahkan ditengarai kepemilikan alat sadap ini tidak hanya dimiliki insitusi keamanan, tetapi juga perorangan atau kelompok di luar aparat keamanan.

Merespon liputan Indonesialeaks, sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti AJI Indonesia, ICW (Indonesia Corruption Watch) dan SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network) menggelar konferensi pers di Kawasan Cikini, Jakarta pada Selasa 20 Juni 2023.

Dalam konferensi pers, ketiga organisasi ini sepakat bahwa hadirnya Pegasus dan turunannya menimbulkan keresahan publik. Karena alat sadap yang mestinya untuk kepentingan keamanan atau kejahatan luar biasa, namun bisa dipakai untuk kepentingan lain. Kondisi ini menurut Direktur SAFENET, Damar Djuniarto disebut unlawful surveillance atau pengawasan yang illegal. Ini pelanggaran digital yang serius, karena terjadi perampasan hak privasi dan merusak demokrasi.

Damar mengingatkan saat ini adalah masa menjelang Pemilu 2024 yang potensi gesekan dan kompetisi antar kelompok politik akan meningkat. “Dalam liputan Indonesialeaks, kehadiran perangkat tersebut (alat sadap) kan jelang Pemilu 2019. Maka ini sangat penting diawasi, karena bisa terjadi lagi di Pemilu 2024,” kata Damar Djuniarto.

Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW, Wana Alamsyah menyebut anggaran kepolisian untuk pembelian alat sadap ini cukup besar, sementara efektivitasnya belum terbukti untuk kepentingan publik. “Kecuali KPK pada kasus korupsi, apakah kemudian pada kasus-kasus kejahatan luar biasa, polisi mengajukan bukti dari hasil penyadapan di persidangan? Belum pernah kita dengar,”ujar Wana menegaskan.

Pertanggungjawaban penggunaan alat sadap ini oleh kepolisian perlu dibuka ke piblik.Di sisi lain, saat ada penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, banyak aktivis yang alami peretasan gawainya. Atau saat angka COVID-19 sedang tinggi, seorang pakar UI bersikap kritis pada kebijakan pemerintah. Tak lama kemudian fotofoto di dalam gawainya tersebar ke publik.

Baca Juga: Puncak Haji, Seluruh Jemaah Haji Laksanakan Wukuf di Arafah

Wana menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas pada penggunaan alat-alat sadap ini. “Paling tidak DPR dapat menjalankan fungsinya untuk mengawasi lembaga yang membeli dan menggunakan alat-alat ini,” kata Wana.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas mengungkap berdasarkan laporan Forbidden Story, ada 50 ribu penggiat HAM (Hak Asasi Manusia) yang teridentifikasi terkena Pegasus, termasuk di antaranya 18 jurnalis. Efek dari pengawasan illegal ini menimbulkan keresahan, ketakutan orang menjadi narasumber maupun pada jurnalis itu sendiri. Ini jelas kerugian besar untuk demokrasi.

Karena itu AJI lewat Ika Ningtyas mendesak pemerintah membentuk tim independen untuk mengatur kembali penggunaan alat-alat sadap ini. Termasuk agar pemerintah dan DPR segera membuat regulasi pengaturan pengawasan (RUU Penyadapan).

“Belajar dari negara-negara Eropa, Ketika ada kasus Pegasus mereka langsung membuat tim independen. Dan segera membuat aturan melarang penggunaan Pegasus yang zero click,” kata Ika.

Ika juga mengingatkan agar perusahaan-perusahaan telko atau penyedia jasa seluler tidak lepas tangan. Mereka harus memperkuat sistem keamanan digital, tidak bisa disusupi spyware seperti Pegasus, Circles.

Hasil liputan Indonesialeaks ini mengaskan bahwa pengintaian dan penyadapan pada aktivis atau bahkan politisi itu benar terjadi. “Ini mengkonfirmasi dan mematahkan argumen dari NSO (perusahaan pencipta Pegasus) bahwa teknologi mereka hanya untuk (mengawasi) kejahatan,” ucap Damar.

AJI Indonesia, ICW maupun SAFENET sepakat bahwa terkuaknya Pegasus ada di Indonesia adalah momentum untuk masyarakat sipil maupun negara untuk segera mengatur alat-alat penyadapan ini. Terlebih menjelang Pemilu 2024, penggunaan alat sadap secara illegal (unlawful surveillance) adalah ancaman bagi demokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *