Blitar, serayunusantara.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan maraknya platform jual beli daring, masih ada sosok yang memilih bertahan dengan cara lama: menjual buku secara langsung, dari tangan ke tangan.
Di dekat Sekolah Dasar Islam (SDI) Kota Blitar, berdiri sebuah lapak buku bekas sederhana yang menjadi saksi perjalanan waktu.
Lapak itu tidak besar, hanya beberapa meter persegi dengan atap seadanya, namun di sanalah aroma khas kertas tua dan debu pengetahuan berpadu membentuk suasana yang sulit ditemukan di toko buku modern.
Pemiliknya, seorang pria paruh baya yang enggan disebutkan namanya, sudah berjualan di tempat itu lebih dari dua puluh tahun. Ia menyebut pekerjaannya bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga menjaga kenangan.
“Dulu banyak murid dan guru datang ke sini setiap awal tahun ajaran. Sekarang sudah jarang, tapi masih ada yang setia,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Baca Juga: Cangkrukan Ningsih, Kafe Berkonsep Jadul yang Menjadi Tempat Nongkrong Favorit di Kota Blitar
Di atas meja kayu panjang yang sudah mulai lapuk, tersusun berbagai jenis buku: buku pelajaran SD hingga SMA, kamus bahasa Inggris, novel remaja dari era 1980-an, majalah lama, hingga buku bacaan umum yang sudah tak lagi dicetak.
Sampul-sampulnya lusuh, beberapa halaman menguning, namun itulah yang justru membuatnya berharga di mata para pencinta buku. Tak sedikit pengunjung datang bukan untuk mencari buku tertentu, melainkan untuk sekadar “berburu nostalgia.” (Blt)









