Oleh Anas Sahroni, Demisioner Kabiro Hubungan Organ Gerakan Kepemudaan dan Perguruan Tinggi PC PMII Jember 2024/2025
Banjir bukanlah fenomena baru bagi masyarakat Kabupaten Jember. Hampir setiap musim hujan tiba, sejumlah wilayah, baik di perkotaan maupun pedesaan, kembali dilanda genangan air, bahkan banjir besar yang merusak rumah, sawah, infrastruktur, serta mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi warga.
Sayangnya, kejadian ini kerap diperlakukan sebagai peristiwa rutin yang dianggap “wajar” dan tak terhindarkan, seolah-olah banjir adalah takdir alam semata. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, banjir di Jember bukan hanya persoalan curah hujan tinggi, melainkan juga cerminan krisis tata kelola lingkungan dan perencanaan wilayah yang belum berkelanjutan.
Kabupaten Jember memiliki karakter geografis yang kompleks. Wilayahnya terdiri dari daerah pegunungan, dataran rendah, hingga kawasan pesisir selatan. Beberapa sungai besar, seperti Sungai Bedadung, Sungai Mayang, dan Sungai Tanggul, mengalir melintasi wilayah ini.
Secara alamiah, keberadaan sungai seharusnya menjadi sumber kehidupan dan penyangga ekosistem. Namun, ketika daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan, sungai justru berubah menjadi ancaman yang sewaktu-waktu meluap dan menimbulkan bencana.
Salah satu faktor utama penyebab banjir di Jember adalah kerusakan lingkungan di wilayah hulu. Alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan, pertanian intensif, bahkan permukiman, telah mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan.
Baca Juga: Banjir di Kabupaten Jember: Antara Bencana Alam dan Krisis Tata Kelola Lingkungan
Ketika hujan deras turun, air tidak lagi tertahan oleh vegetasi, melainkan langsung mengalir ke sungai dalam jumlah besar. Akibatnya, debit air meningkat drastis dan melampaui kapasitas sungai. Kondisi ini diperparah oleh sedimentasi sungai akibat erosi tanah di daerah hulu, yang menyebabkan pendangkalan dan mempersempit alur sungai.
Di sisi lain, kawasan perkotaan Jember juga menyumbang persoalan serius. Pertumbuhan kota yang pesat tidak selalu diiringi dengan perencanaan drainase yang memadai. Banyak saluran air yang sempit, tersumbat sampah, atau bahkan tertutup bangunan.
terbuka hijau semakin menyusut, digantikan oleh beton dan aspal yang tidak mampu menyerap air. Ketika hujan turun dalam intensitas tinggi, air hujan tak memiliki ruang untuk meresap dan akhirnya menggenangi permukiman warga.
Masalah banjir juga berkaitan erat dengan perilaku masyarakat. Kebiasaan membuang sampah ke sungai masih sering ditemui, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sampah rumah tangga, plastik, hingga limbah lainnya menumpuk di aliran sungai dan saluran drainase, menghambat aliran air.
Ironisnya, kesadaran akan dampak jangka panjang dari perilaku ini masih rendah. Banyak warga baru menyadari pentingnya kebersihan sungai setelah banjir datang dan merugikan mereka sendiri.
Baca Juga: 4 September 2025, Jalur Gumitir Banyuwangi–Jember Kembali Dibuka
Namun, menyalahkan masyarakat semata tentu tidak adil. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar dalam pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana. Penegakan aturan tata ruang sering kali lemah.
Bangunan yang berdiri di sempadan sungai masih banyak ditemukan, meskipun jelas melanggar ketentuan. Normalisasi sungai dan perbaikan drainase kerap bersifat reaktif, dilakukan setelah banjir terjadi, bukan sebagai langkah pencegahan yang terencana dan berkelanjutan.
Banjir di Jember juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Petani menjadi kelompok yang paling rentan. Sawah yang terendam banjir dapat mengalami gagal panen, menyebabkan kerugian finansial dan mengancam ketahanan pangan lokal.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, banjir bisa berarti hilangnya harta benda, rusaknya rumah, serta meningkatnya risiko penyakit. Anak-anak terpaksa libur sekolah, sementara orang dewasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk bekerja.
Lebih jauh lagi, banjir mencerminkan ketimpangan sosial. Wilayah yang paling sering terdampak biasanya adalah kawasan padat penduduk dengan kualitas permukiman rendah. Mereka yang memiliki sumber daya lebih cenderung tinggal di daerah yang lebih aman dan memiliki akses terhadap fasilitas penanggulangan bencana. Dalam konteks ini, banjir bukan hanya bencana alam, tetapi juga bencana sosial yang memperlebar jurang ketidakadilan.
Perubahan iklim global turut memperburuk situasi. Pola curah hujan menjadi semakin tidak menentu, dengan intensitas hujan ekstrem yang lebih sering terjadi. Kondisi ini menuntut kesiapan yang lebih baik dari pemerintah dan masyarakat.
Sayangnya, kesiapan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Sistem peringatan dini banjir masih terbatas, dan edukasi kebencanaan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara efektif.
Menghadapi persoalan banjir di Jember, diperlukan perubahan paradigma. Penanganan banjir tidak boleh lagi bersifat jangka pendek dan parsial. Pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul, normalisasi sungai, dan perbaikan drainase memang penting, tetapi harus diimbangi dengan pendekatan non-struktural.
Rehabilitasi hutan dan lahan di daerah hulu, perlindungan kawasan resapan air, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang merupakan langkah krusial yang tidak bisa ditawar.
Selain itu, partisipasi masyarakat harus menjadi bagian integral dari solusi. Program edukasi lingkungan perlu digalakkan secara konsisten, mulai dari sekolah hingga komunitas lokal.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan sungai, misalnya melalui kegiatan bersih sungai, penanaman pohon, dan pengawasan terhadap aktivitas yang merusak lingkungan. Ketika masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya, upaya pencegahan banjir akan lebih efektif dan berkelanjutan.
Pemerintah daerah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan pembangunan. Setiap proyek infrastruktur seharusnya mempertimbangkan aspek lingkungan dan risiko bencana.
Analisis dampak lingkungan tidak boleh sekadar formalitas, melainkan menjadi dasar pengambilan keputusan. Kolaborasi dengan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta dapat memperkaya perspektif dan memperkuat kapasitas penanganan banjir.
Banjir di Kabupaten Jember sejatinya adalah peringatan keras bahwa hubungan manusia dengan alam sedang berada dalam kondisi tidak seimbang. Alam tidak pernah “marah” tanpa sebab; manusialah yang sering kali mengabaikan batas-batas ekologis.
Jika banjir terus berulang dengan dampak yang semakin parah, itu menandakan bahwa ada yang salah dalam cara kita mengelola lingkungan dan merencanakan pembangunan.
Ke depan, Jember memiliki peluang untuk berbenah dan menjadi contoh daerah yang tangguh terhadap bencana. Dengan komitmen politik yang kuat, partisipasi masyarakat yang aktif, serta pendekatan pembangunan yang berwawasan lingkungan, banjir tidak lagi harus menjadi cerita tahunan yang penuh penderitaan.
Sebaliknya, ia bisa menjadi titik balik menuju kesadaran kolektif bahwa keberlanjutan lingkungan adalah syarat utama bagi kesejahteraan bersama.
Pada akhirnya, banjir di Jember bukan sekadar urusan air yang meluap, tetapi soal pilihan: apakah kita akan terus menormalisasi kerusakan lingkungan, atau mulai berani berubah demi masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.
Pilihan itu ada di tangan kita semua—pemerintah, masyarakat, dan generasi mendatang yang kelak akan mewarisi kondisi lingkungan hari ini. (Ke)













