Bersama Dinas DP3AP2KB Kabupaten Blitar, Pemerintah Desa Tuliskriyo mengelar Sosialisasi UU Perkawinan Anak. (Foto: Achmad Zunaidi/serayunusntara.com)
Blitar, serayunusantara.com – Pemerintah Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, menggelar kegiatan Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan Anak, Selasa (23/7/2025), sebagai respons atas meningkatnya kasus perkawinan usia dini dan kekerasan terhadap anak.
Agenda ini menjadi tindak lanjut dari Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) 2024, yang menekankan pentingnya edukasi hukum dan perlindungan anak sebagai fondasi pembangunan desa.
Dalam sambutannya, Kepala Desa Tuliskriyo, mashuriono, menegaskan bahwa perkawinan anak bukan sekadar urusan legalitas, tetapi berdampak luas terhadap masa depan generasi muda.
“Perkawinan anak itu bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merampas masa depan anak-anak kita. Sosialisasi ini kami gelar agar masyarakat, terutama orang tua, lebih sadar akan bahaya dan konsekuensinya,” ujar Mashuri.
Kegiatan ini menghadirkan Leliana Novianita, Kepala Bidang KKP dan PHA dari DP3AP2KB Kabupaten Blitar, sebagai narasumber utama. Ia memaparkan bahwa tingginya angka permohonan dispensasi kawin menjadi sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan.
“Kita menghadapi kenyataan pahit: banyak anak yang menikah sebelum waktunya karena minimnya pemahaman hukum dan tekanan lingkungan. Sosialisasi ini adalah bentuk upaya preventif, demi menyelamatkan masa depan mereka,” jelas Leliana usai acara.
Data terbaru per 23 Juli 2025 mencatat 84 permohonan dispensasi kawin di Kabupaten Blitar, dengan 44 di antaranya melibatkan anak perempuan di bawah 18 tahun. Tak hanya itu, terdapat 38 kasus kehamilan di usia dini, termasuk 17 anak di bawah umur yang mengandung dan 7 di antaranya telah melahirkan.

Leliana menekankan bahwa fenomena ini tak lepas dari lemahnya literasi hukum dan masih kuatnya budaya permisif terhadap pernikahan dini. Padahal, UU No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan usia minimal perkawinan adalah 19 tahun.
“Batas usia itu ditetapkan untuk menjamin hak anak atas pendidikan dan tumbuh kembang yang optimal. Perkawinan dini kerap menjadi pintu masuk pada siklus kemiskinan, putus sekolah, hingga kekerasan dalam rumah tangga,” tegasnya.
Situasi semakin memprihatinkan dengan adanya 41 kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Blitar sejak Januari hingga Juli 2025. Di antaranya, 12 kasus pelecehan seksual, 10 anak berhadapan dengan hukum (ABH), dan 15 kasus kekerasan fisik.

Kecamatan Sanankulon sendiri mencatat 1 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Kegiatan sosialisasi disambut hangat oleh warga, terutama para orang tua dan remaja. Diskusi berjalan aktif, dengan banyak peserta yang mencurahkan keprihatinan mereka terhadap praktik perkawinan anak yang masih terjadi secara diam-diam di lingkungan sekitar.
Menutup acara, Mashuri kembali menegaskan harapannya agar kegiatan ini menjadi pemantik kesadaran kolektif.
“Ini bukan sekadar kegiatan seremonial. Kami ingin ini menjadi titik tolak untuk membangun desa yang benar-benar ramah anak, tempat anak-anak kita bisa tumbuh dengan aman, sehat, dan bermasa depan,”
“Kami tidak ingin berhenti di sini. Setelah sosialisasi ini, kami akan dorong lahirnya forum-forum anak dan komunitas peduli remaja di desa. Karena melindungi anak adalah tanggung jawab kita semua,” pungkasnya. (Jun)