Desakan Puan Soal Penerbitan Aturan Teknis UU TPKS Perlu Segera Direspons Pemerintah

Jakarta, serayunusantara.com – Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani terus menekankan pentingnya penerbitan aturan turunan pelaksana Undang-Undang Nomor 12Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengingat Indonesia tengah menghadapi situasi darurat kekerasan seksual. Desakan tersebut dinilai perlu mendapat respons cepat dari Pemerintah.

Dalam pernyataannya, berkali-kali Puan meminta Pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan teknis UU TPKS agar dapat diimplementasikan dengan lebih optimal. Sebab penyelesaian kasus kekerasan seksual dapat lebih efektif jika menggunakan UU TPKS.

Diketahui, perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu sudah berulang-ulang menyuarakan agar Pemerintah segera menerbitkan aturan teknis dari UU TPKS sehingga dapat diterapkan dengan lebih efektif. Mantan Menko PMK ini geram dengan maraknya kasus-kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia di mana korbannya mayoritas adalah perempuan dan anak.

“Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. UU TPKS sudah disahkan lebih dari satu tahun, tapi belum bisa efektif diimplementasikan karena aturan teknisnya belum diterbitkan,” kata Puan kepada Parlementaria, Rabu (31/5).

Memang berdasarkan Pasal 91 UU TPKS, peraturan pelaksana ditetapkan paling lambat dua tahun sejak UU ini diundangkan. Meski begitu, menurut Puan, Pemerintah seharusnya bisa mempercepat penerbitan aturan turunan UU TPKS mengingat kasus kekerasan seksual sudah darurat di Indonesia.

“Penyelesaian aturan teknis UU TPKS harus menjadi prioritas mengingat kita menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, harus ada gerak cepat dari Pemerintah,” ucap cucu Proklamator Bung Karno ini.

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 di mana terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.

Kemudian Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.

“Sudah banyak sekali kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mau tunggu sampai kapan? Penyelesaian seharusnya tidak hanya berhenti dengan dihukumnya pelaku. Selain rehabilitasi korban, upaya pencegahan harus menjadi prioritas,” tegas Puan

Baca Juga: Buka Ruang Dialog, Panja RUU Kesehatan DPR RI Terima Sejumlah Organisasi Profesi

Puan menambahkan, implementasi UU TPKS dapat memutus rantai kekerasan seksual di Indonesia karena memuat aturan upaya pencegahan. Puan mengatakan, upaya perlindungan masyarakat dari tindak kekerasan seksual dimulai dari tahapan pencegahan.

“Penyelesaian fenomena gunung es kasus kekerasan seksual memang harus dilakukan dari hulu ke hilir. UU TPKS sebagai hasil perjuangan banyak pihak juga dapat mengatur hak-hak pemulihan psikologis serta restitusi dan kebutuhan lainnya dari korban. Maka penting sekali aturan teknis UU TPKS segera diterbitkan,” ucapnya.

Desakan juga datang dari banyak anggota DPR lain. Salah satunya dari Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya yang juga merupakan Ketua Panja Rancangan UU TPKS.

“Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah darurat, termasuk marak terjadi di lingkungan pondok pesantren. Pemerintah harus bergerak cepat menyelesaikan aturan turunan UU TPKS,” tegas Willy Aditya, Kamis (25/5).

Desakan DPR ini mendapat tanggapan positif dari publik luas. “Saya sependapat, sebagaimana yang terus disuarakan oleh Puan Maharani bahwa UU TPKS belum optimal di tengah maraknya kasus kekerasan seksual karena belum adanya aturan teknis,” kata Ahli Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi, Jumat (2/6/2023).

Menurutnya, Pemerintah harus segera merespons desakan DPR mengenai penerbitan aturan pelaksana sebagai implementasi atas UU TPKS. Apalagi, kata Ari, desakan tersebut juga sudah datang dari berbagai kalangan.

“Baik dari DPR, termasuk pimpinan, Badan Legislasi (Baleg), Komisi III DPR dan Komisi VIII DPR sudah terus mengingatkan. Para aktivis pun juga selalu bersuara sehingga seharusnya Pemerintah memberi respons cepat,” tuturnya.

“Kasus kekerasan seksual di Indonesia masuk status darurat di Indonesia, harus segera ditindak dengan cara yang baru melalui implementasi UU TPKS karena cara yang lama tidak membawa penurunan angka kasus,” imbuh Ari.

Dengan gencarnya desakan DPR RI, Pemerintah seharusnya ‘aware’ bahwa penerapan aturan pelaksana atas implementasi UU TPKS merupakan langkah penting dalam memastikan perlindungan yang lebih baik bagi para korban kekerasan seksual. Ari menilai, UU TPKS juga dapat menegakkan hukum dalam kasus kekerasan seksual secara lebih adil.

“Maraknya kasus kekerasan seksual sudah jadi alert untuk Pemerintah mengevaluasi sistem hukum penanganan kasus kekerasan seksual,” sebut Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama itu.

“UU TPKS mempertegas hukuman pelaku pelecehan maupun kekerasan seksual sehingga penerbitan aturan teknis sudah menjadi kebutuhan mendesak,” lanjut Ari.

Ditambahkannya, sudah sewajarnya Puan memberi desakan kepada Pemerintah. Hal ini mengingat UU TPKS lahir di bawah kepemimpinan Puan di DPR setelah diperjuangkan selama satu dekade. Puan pun diketahui sudah mengawal perjalanan UU TPKS sejak ia masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).

Semangat Puan membela kelompok perempuan dan anak, yang banyak menjadi korban kekerasan, semakin memuluskan perjalanan UU TPKS hingga akhirnya disahkan tahun lalu. Maka, kata Ari, tak heran bila Puan ingin UU TPKS segera diimplementasikan.

“Artinya Puan masih terus memperjuangkan undang-undang ini hingga tahap akhir. Saya menilai kehadiran UU TPKS sebagai milestone pencapaian Puan dalam memimpin DPR,” ujarnya.

“Sekarang saatnya pemerintah dengan sigap mengeluarkan produk-produk hukum turunan dari UU TPKS agar apa yang diperjuangkan di parlemen bisa diimplementasikan di aturan-aturan pelaksananya,” sambung Ari.

Aturan pelaksana UU TPKS akan memberikan panduan yang jelas bagi para aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selain itu juga dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara instansi-instansi terkait dalam penanganan kasus kekerasan seksual sehingga memperkuat respons terhadap fenomena kekerasan seksual yang masih menjadi momok di negeri ini.

Baca Juga: DPRD Kabupaten Blitar Gelar Raker Bahas Rencana Anggaran Belanja Daerah 2023

Ari pun mengapresiasi upaya Puan bersama jajarannya di DPR yang terus menunjukkan kepeduliannya terhadap kasus kekerasan seksual.

“Dengan disahkannya UU TPKS juga menjadi bukti bahwa DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani ‘tidak tuli’ dengan aspirasi rakyat. Bahwa kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi di masyarakat berhasil ‘ditangkap’ dan dicarikan solusinya oleh DPR,” paparnya.

Padahal, menurut Ari, penerbitan UU TPKS sendiri dinamikanya cukup besar. Banyak perdebatan dan tantangan dari sejumlah pihak, namun Puan bergandengan dengan para aktivis dan akademisi berhasil merealisasikan pengesahan UU TPKS setelah 10 tahun diperjuangkan.

“Terbilang tidak mudah dan butuh komitmen tinggi dalam proses legislasi yang dilakukan DPR pada penerbitan UU TPKS. Ini menunjukkan kepemimpinan perempuan di parlemen menjadi warna tersendiri terhadap persoalan perempuan dan anak,” sebut Ari.

Lebih lanjut, kehadiran UU TPKS dinilai menjadi penanda keberpihakan wakil-wakil rakyat terhadap persoalan perlindungan kerentanan perempuan dan anak. Ari mengatakan UU TPKS hadir sebagai pelindung serta penguat terhadap peran sosok perempuan dan anak, di mana hal itu tidak terlepas dari perjuangan Puan beserta anggota DPR lainnya.

“Maka perjuangan tersebut harus didukung dengan segera diterbitkannya aturan teknis UU TPKS sebagai semangat penghapusan kasus kekerasan seksual di Tanah Air,” urainya.

Ari menyebut, UU TPKS merupakan beleid yang berpihak kepada korban. Melalui undang-undang ini pula, aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing khusus yang selama ini belum ada untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual. Undang-undang TPKS juga memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban.

“Ini adalah sebuah langkah yang maju dan menunjukkan DPR hadir dalam memberikan perlindungan bagi rakyat. Perjuangan DPR, perjuangan para akivis dan seluruh elemen bangsa dalam merealisasikan UU TPKS harus direspons segera oleh Pemerintah lewat penerbitan aturan teknisnya,” tukas Ari. (rdn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *