Blitar, serayunusantara.com – Sidang perkara dugaan tindak pidana terkait Penyerobotan Lahan hasil sengketa lelang aset debitur, perkara Pidana dengan nomor perkara 308/Pid.B/2025/PN Blt di Pengadilan Negeri Blitar kembali memunculkan babak baru.
Tim penasihat hukum terdakwa menuding adanya indikasi kuat praktik korupsi dan kolusi yang melibatkan seorang notaris dalam proses administrasi jual beli aset lelang.
Kuasa hukum terdakwa, Advokat Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA., didampingi Rachmat Idisetyo, S.H., dan Jakfar Shadiq, S.H. menyebut bahwa sejumlah dokumen yang digunakan dalam proses lelang tidak sesuai prosedur dan mengandung kejanggalan nilai transaksi.
“Kami melihat adanya indikasi kerja sama gelap antara pihak pelapor dan notaris yang menangani akta jual beli. Ada hal-hal yang tidak wajar, terutama terkait nilai transaksi dan proses administratif yang seharusnya di catat apa adanya sesuai dengan nilai transaksi,” ujar Joko usai sidang, Kamis (30/10/2025).
Menurut Joko, nilai yang tercantum dalam Akta Jual Beli (AJB) jauh di bawah harga pasar dan nilai riil aset yang di perjual belikan.
“Dalam AJB tertulis hanya 90 juta rupiah, padahal nilai sebenarnya mencapa tiga ratus lima puluh juta rupiah. Itu jelas mengurangi penerimaan pajak dan berpotensi merugikan keuangan negara. Unsur korupsinya kuat,” tegasnya.
Keterangan Joko sejalan dengan pendapat saksi ahli, Prof. Dr. Iwan Permadi, S.H., M.Hum. ahli hukum agraria dan administrasi negara dari Universitas Brawijaya. Ia menegaskan bahwa pemalsuan nilai transaksi dalam AJB bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor).
“Kalau nilai dalam AJB diturunkan secara sengaja untuk mengurangi bea perolehan hak atas tanah atau pajak, maka itu perbuatan yang merugikan keuangan negara. Unsurnya memenuhi pasal Tipikor,” terang Iwan di hadapan majelis hakim.
Iwan juga menjelaskan bahwa notaris memiliki tanggung jawab hukum atas keabsahan setiap akta yang dibuatnya, dan tidak boleh menandatangani akta yang ia tahu mengandung data tidak benar.
“Notaris wajib memverifikasi data dan nilai transaksi secara jujur. Jika ia mengetahui adanya manipulasi namun tetap membuat akta, maka ia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” tegasnya.
Selain dugaan manipulasi nilai transaksi, Joko juga menyoroti cacat prosedur dalam proses lelang.
“Seharusnya mertua tidak boleh diikutsertakan dalam lelang dimana petugas Bank menanggapi Debitur karena akan konflik kepentingan, Tapi dalam kasus ini, mekanismenya tidak transparan. Dengan menangnya mertua petugas Bank dalam lelang akan nenimbulkan kesan dugaan permufakatan jahat. Di tambah ada pihak-pihak tertentu yang diduga memanipulasi dokumen untuk mempercepat peralihan hak,” katanya.
Ia menambahkan, proses lelang yang tidak transparan berpotensi membatalkan seluruh transaksi karena melanggar ketentuan hukum perdata dan administrasi negara.
“Kalau lelang cacat prosedur, maka semua turunannya, termasuk AJB dan sertifikat, otomatis tidak sah. Itu batal demi hukum,” ucapnya.
Rencana Pelaporan Dugaan Korupsi
Tim kuasa hukum memastikan akan melaporkan dugaan keterlibatan notaris tersebut ke aparat penegak hukum, termasuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika diperlukan.
“Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti administrasi dan dokumen terkait. Kalau sudah lengkap, akan kami laporkan resmi. Negara dirugikan, dan integritas profesi notaris juga tercoreng,” tegas Joko.
Dugaan keterlibatan notaris dalam praktik manipulasi nilai transaksi AJB membuka dimensi baru dalam perkara sengketa penyerobotan lahan hasil lelang aset di Blitar. Bila terbukti, tindakan tersebut bukan hanya melanggar etika profesi, tetapi juga dapat dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena menimbulkan kerugian keuangan negara.
Kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi para pejabat pembuat akta dan pejabat lelang agar menjaga transparansi, akurasi data, dan integritas hukum dalam setiap proses pengalihan hak atas tanah dan bangunan. (Jun)













