Plt. Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Eni Widiyanti, dalam Diseminasi Hasil Analisis SPHPN Tahun 2021, di Jakarta, Rabu (20/12). (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tengah mempersiapkan pelaksanaan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024 dalam rangka mendukung komitmen global dan nasional terkait isu perlindungan terhadap perempuan. Pasalnya, data SPHPN dapat menjadi acuan penyusunan kebijakan dalam upaya penurunan angka kekerasan dan praktik berbahaya terhadap perempuan.
“SPHPN merupakan satu-satunya survei bersumber dari data statistik kekerasan terhadap perempuan yang menghasilkan estimasi prevalensi kekerasan tingkat nasional di Indonesia. Hasil SPHPN ini diperlukan untuk melapor di tingkat global terkait dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terutama terkait tujuan target 5.2, yaitu menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi serta target 5.3 terkait menghapuskan semua praktik berbahaya,” ujar Plt. Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Eni Widiyanti, dalam Diseminasi Hasil Analisis SPHPN Tahun 2021, di Jakarta, Rabu (20/12).
Sebelumnya, KemenPPPA telah melaksanakan survei yang sama pada 2016 dan 2021. Eni menjelaskan, secara prevalensi, angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan. Pada 2016, 33,4 persen atau 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Angka ini turun menjadi 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun yang mengalami kekerasan sepanjang hidupnya berdasarkan data SPHPN Tahun 2021.
“Menurut data sensus penduduk tahun 2020, terdapat 93,9 juta perempuan yang berusia 15-64 tahun di Indonesia. Jadi, dapat diperkirakan 24,5 juta perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Walaupun datanya menurun, tapi angka ini masih memprihatinkan karena prinsip kami adalah zero tolerance for gender-based violence sehingga tidak boleh ada satu perempuan pun yang mengalami kekerasan,” tutur Eni.
Baca Juga: Menteri PPPA Ajak Seluruh Pihak Perkuat Pemberdayaan Perempuan di Dunia Digital
Menurut Eni, berbagai program upaya penanggulangan permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan perbaikan ekonomi serta sosial masyarakat yang dijalankan selama periode 2016-2021 telah memberikan dampak positif. “Harapan kami, hasil analisis SPHPN Tahun 2021 dapat dimanfaatkan untuk menyusun kebijakan di pusat maupun daerah yang tepat sasaran sehingga dalam survei tahun 2024 angka prevalensi akan menurun kembali,” kata Eni.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistika (BPS), Nurma Midayanti mengatakan, penyusunan SPHPN Tahun 2024 tidak hanya mendukung pencapaian SGDs, tetapi juga berkontribusi dalam pencapaian program prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda.
“Perlu ada pengukuran sebagai monitoring pencapaian dan evaluasi kebijakan dengan mengidentifikasi kondisi pengalaman hidup perempuan dan anak. Indikator dan target yang harus disediakan adalah prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang secara ukuran melihat kejadian selama setahun terakhir ketika pendataan dilakukan. Hasilnya, tahun 2016 angka prevalensi 9,4 persen dan menurun prevalensinya menjadi 8,7 pada 2021. Tahun 2024 kita akan mengukur kembali, kita sangat berharap angka ini turun,” kata Nurma.
Nurma menjelaskan, pada pelaksanaan SPHPN Tahun 2021, 94,85 persen target sampel telah dapat terpenuhi atau 12.141 dari 12.800 rumah tangga. “Sisanya 659 rumah tangga non respon karena ada rumah tangga yang menolak; rumah tangga yang terpilih tidak memiliki sampel perempuan yang kami sasar, yaitu berusia 15-64 tahun; dokumen yang diisi tidak lengkap; dan responden tidak bersedia melakukan wawancara,” ujar Nurma
Baca Juga: Terjadi Kekerasan Seksual di Majelis Taklim di Purwakarta, KemenPPPA: Tindak Tegas Pelaku TPKS
Tim Pengawalan Kinerja KemenPPPA, Lies Rosdianty memberikan pemaparan mengenai hasil analisis SPHPN Tahun 2021 yang mencakup kekerasan terhadap perempuan oleh suami/pasangan, kekerasan terhadap perempuan oleh bukan pasangan, kekerasan berbasis gender online (KBGO), hingga praktik sunat perempuan atau pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP). Kekerasan terhadap perempuan terbagi atas kekerasan fisik, seksual, ekonomi, emosional, dan pembatasan perilaku. Selain itu, terdapat data perempuan yang mengalami lebih dari 1 (satu) jenis kekerasan, baik dalam setahun terakhir maupun sepanjang hidupnya.
Berdasarkan data SPHPN Tahun 2021, jenis kekerasan oleh suami/pasangan yang paling banyak dialami oleh perempuan adalah pembatasan perilaku, yaitu 30,9 persen selama hidupnya dan 22 persen selama setahun terakhir. Diikuti dengan kekerasan ekonomi, kekerasan emosional, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Sementara itu, kekerasan oleh bukan pasangan sejak berusia 15 tahun dialami oleh 8 persen perempuan (fisik), 15,4 persen perempuan (seksual), dan 20 persen perempuan (fisik dan/atau seksual). Sementara, kekerasan selama setahun terakhir dialami oleh 1,2 persen perempuan (fisik), 15,4 persen perempuan (seksual), dan 6 persen perempuan (fisik dan/atau seksual).***