Tenggarong, serayunusantara.com – Sengketa internal di tubuh PT Laut Bontang Bersinar (LBB) memasuki babak baru.
Setelah berbulan-bulan berproses melalui jalur hukum, perkara pemberhentian pendiri sekaligus mantan Direktur Utama perusahaan, Muhammad Lien Sikin, akan mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bontang. Sidang perdana perkara Nomor 25/Pdt.G/2025/PN Bon dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 4 November 2025 pukul 09.00 WITA.
Kuasa hukum penggugat, Laura Azani, S.H., C.L.e, membenarkan bahwa perkara kliennya resmi bergulir di pengadilan.
“Pemanggilan tersebut merupakan pemberitahuan resmi bahwa perkara kini masuk tahap pemeriksaan. Seluruh proses pemanggilan dan pemberitahuan sidang dilakukan melalui saluran resmi pengadilan dan dapat diakses melalui e-Court Mahkamah Agung RI,” ujarnya saat dikonfirmasi, Sabtu (26/10) lalu.
Laura menegaskan, langkah hukum yang ditempuh pihaknya bukan bentuk konfrontasi terhadap pihak mana pun, termasuk Perumda maupun pemerintah daerah.
Menurutnya, gugatan ini merupakan upaya menempatkan persoalan korporasi pada jalur hukum yang semestinya, agar keputusan perusahaan memiliki dasar yang sah dan tidak menimbulkan kerugian di kemudian hari.
“Kami tidak sedang melawan siapa pun. Ini murni langkah untuk memperoleh kepastian hukum sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.
Ia juga mengimbau agar seluruh pihak menjaga suasana tetap kondusif selama proses persidangan berjalan.
“Kami berharap proses ini berjalan objektif dan transparan sehingga tidak muncul informasi simpang siur yang bisa memengaruhi stabilitas operasional pelabuhan. Keadilan dan kepastian hukum adalah hak setiap pihak yang bersengketa,” tambahnya.
Diketahui, persoalan ini bermula pada 23 Maret 2025 ketika penggugat menerima surat bertanggal 11 Maret 2025 berisi keputusan pemegang saham di luar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Surat tersebut menyatakan pemberhentian dirinya sebagai direktur bersama Hariyadi, S.H., M.M yang juga diberhentikan dari jabatan komisaris.
Namun, surat itu tidak dikirim oleh pihak resmi perusahaan, melainkan melalui aplikasi WhatsApp oleh seorang rekan yang dikenal dekat dengan penggugat.
Selain memberhentikan keduanya, keputusan tersebut juga menetapkan pengangkatan direksi dan komisaris baru tanpa melibatkan penggugat dalam proses pembelaan. Kuasa hukum menilai tindakan itu sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
“Bagaimana mungkin pemecatan dilakukan tanpa proses yang sah dan tanpa memberi kesempatan kepada klien kami untuk membela diri? Itu jelas bertentangan dengan Pasal 105 dan 106 UU PT,” ujar Laura.
Ia menilai keputusan pemegang saham di luar RUPS itu cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan legal. Karena itu, pihaknya meminta majelis hakim untuk membatalkan keputusan tersebut dan memulihkan hak-hak kliennya.
“Tujuan kami sederhana, agar setiap keputusan perusahaan kembali pada koridor hukum dan keadilan dapat ditegakkan,” pungkas Laura. (Jun/serayu)













