Jurus Jitu Menkeu Sri Mulyani Atasi Kesenjangan Infrastruktur

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (Foto: Kemenkeu RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman Kemenkeu RI, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sejumlah tantangan sekaligus solusi dalam mengatasi isu kesenjangan pembangunan infrastruktur. Menurutnya, masalah kesenjangan infrastruktur tersebut berdampak pada daya saing dan produktivitas sehingga harus segera diatasi.

Ia menuturkan, tantangan pertama berkaitan dengan sumber daya. Meski ketersediaannya cukup banyak, masing-masing sumber pembiayaan memiliki perbedaan dalam memandang risiko dan imbal laba yang diharapkan. Sehingga, menurut Menkeu ini menjadi salah satu poin yang harus dibahas untuk menangani kesenjangan infrastruktur.

Bagi Indonesia sendiri, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki alokasi anggaran untuk infrastruktur dalam bentuk belanja dan pembiayaan atau investasi. Namun, besarannya relatif terbatas jika berdiri sendiri.

Oleh karena itu pemerintah termasuk pemda harus menarik lebih banyak modal pendanaan. Terlebih, tiap-tiap pemerintah daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda-beda di mana hal tersebut juga memerlukan intervensi dukungan kebijakan dari pemerintah pusat.

Baca Juga: Kemlu-Kemkeu Berkolaborasi Perkuat Diplomasi Ekonomi

Tantangan kedua menurut Sri Mulyani terkait dengan pipeline dan juga partisipasi pihak swasta. Pipeline dimaksud yaitu termasuk persiapan struktur dari pembiayaannya.

“Jadi ini tidak hanya ‘oh, saya akan membangun rel kereta api seperti ini, jalan tol seperti ini’, tapi kita juga mempertimbangkan siapa yang akan membiayai proyek ini, dan itu bergantung pada seberapa menariknya infrastruktur ini,” kata sang Bendahara Negara dalam event High Level Dialogue on Promoting Sustainable Infrastructure Development yang diselenggarakan di Hotel Mulia Jakarta, pada Kamis (24/8/2023). .

Ia mengatakan, ketika ada kesepakatan dengan pihak swasta, maka selera risikonya pun juga akan berbeda. Menurut Menkeu, swasta tentu ingin berpartisipasi, tetapi mereka juga punya besaran laba yang diharapkan. Dengan kata lain, risiko masih menjadi tantangan utama.

“Biasanya pemerintah akan mengintervensi tidak hanya dalam belanjanya, tetapi bagaimana kita bisa menyediakan pengembangan pipeline proyek. Oleh karena itu, kita punya Project Development Facility (PDF) di Indonesia. Anda bahkan bisa menjamin sebagian risikonya sehingga proyek tersebut bisa menarik sektor swasta,” ujar Menkeu.

Baca Juga: OECD Apresiasi Kepemimpinan Presiden Jokowi Lakukan Langkah Reformasi di Indonesia

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengungkapkan risiko tersebut bisa berwujud risiko politik, bencana alam, dan juga risiko kebijakan. Sebagai contoh, dalam sektor energi listrik atau jalan tol, kebijakan pemerintah untuk mengatur tarif bisa berpengaruh pada pendapatan.

“Yang ketiga, tentang ekosistem. Bagi Indonesia kita sangat perlu untuk mengembangkan sejumlah instrumen, baik itu pembiayaan. Sektor swasta ingin berpartisipasi tapi dalam bentuk pinjaman ke pemerintah. Jadi penerbitan green bonds, sukuk, ini adalah bentuk partisipasi pihak swasta dalam bentuk pinjaman, jadi kami meminjam dari mereka,” ungkap Sri Mulyani.

Ia melanjutkan, jika sektor swasta menginginkan selera risiko yang lebih tinggi yaitu dalam bentuk pembiayaan ekuitas, maka mereka memiliki ekspektasi yang juga lebih tinggi lagi terkait imbal laba yang akan diperoleh.

“Dalam pembiayaan ekuitas ini, ini adalah kerangka kerja risiko yang harus dihadapi dan oleh karenanya instrumen terkait penjaminan dan manajemen risiko akan mengambil peranan,” jelas Sri Mulyani.

Baca Juga: Kinerja Perekonomian Indonesia Positif Ditengah Kontraksi Ekonomi Global

Sri Mulyani pun memaparkan upaya pemerintah untuk menggandeng sektor swasta dalam bentuk public-private partnership secara berkelanjutan dan transparan.

“Di Indonesia, kami juga membentuk Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT SMI, IIF, penjaminan seperti PT PII, dan Indonesia Sovereign Wealth Fund. Kesemuanya dibuat untuk menyediakan keterlibatan langsung dengan sektor swasta, dengan level selera risiko dan level kerumitan yang berbeda-beda,” pungkasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *