Malang, serayunusantara.com – Melansir dari laman AJI Indonesia, kelompok masyarakat di Kota Malang mendesak adanya revisi UU ITE karena dinilai menjadi UU yang multitafsir dan berbahaya bagi kebebasan berkespresi. Anggota Paguyuban Korban UU (Paku) ITE, Wadji bahkan mendorong agar UU ITE dihapus. Hal itu disampaikan Wadji saat memberikan pidato sambutan acara Diskusi Terbuka Malang Bebas Berekspresi yang diselenggarakan di Universitas Widyagama Malang, Sabtu (10/6/2023).
“Bila perlu dihapus UU ini,” tegasnya, Sabtu (10/6/2023).
Wadji menceritakan, ia adalah seorang mantan korban pidana UU ITE. Ia mengalami proses hukum karena postingan pesannya di sebuah grup. Pesannya dianggap menyinggung sebuah nama organisasi dan dituntut berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat 3. Padahal subjek hukum Pasal 27 ayat 3 adalah seseorang bukan organisasi.
Wadji bebas di tahapan kasasi. Pada vonis di tingkat pertama, Wadji divonis 3 bulan dan denda Rp 10 juta. Ia kemudian banding ke pengadilan tinggi. Di pengadilan tinggi, hukumannya diperberat menjadi 5 bulan dengan denda Rp 10 juta.
“Semuanya saya selesaikan sendiri. Saya meyakini kebenaran dan memperjuangkannya,” ungkapnya.
Baca Juga: Go Internasional, Produk UMKM Kota Malang Meriahkan Indonesia Fair Beijing
Berdasarkan pengalaman itu, ia menyebut bahwa UU ITE bisa menjerat siapapun. Maka dari itu, ia berharap ada revisi ataupun penghapusan terhadap UU ITE.
Pada acara tersebut, Dian Patria Arum Sari juga hadir berbagi cerita. Ia menceritakan kasusnya dilaporkan ke polisi berdasarkan UU ITE. Menurutnya, UU ITE bias dan sangat mudah menjerat siapapun. Ia mengatakan banyak menemui kejanggalan selama proses hukum.
“Ada sejumlah keterangan yang menurut saya tidak bisa dibuktikan. Saya juga dikaitkan dengan kematian orangtua pelapor dan itu tidak bisa dibuktikan. Belakangan saya ketahui kalau kematian itu terjadi dua tahun setelahnya,” ungkapnya.
Kasus Dian berawal dari postingan komentarnya yang menagih hutang ke seseorang. Postingan komentar itu dikasuskan merujuk pada UU ITE. Senada dengan Wadji, ia berharap revisi dilakukan terhadap UU ITE. Langkah revisi perlu dilakukan agar tidak ada korban lainnya.
Wakasat Reskrim Polresta Malang Kota, AKP Nurwasis mengatakan untuk mengimplementasi Pasal 27 ayat 3, kembali ke KUHP. Namun demikian, berjalan delapan tahun setelah UU diberlakukan pada 2008 ada perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi menurutnya karena UU ITE kontroversi.
“Ini memang ada kontroversi, terus tahun 2021 ada SKB 3 antara Jaksa Agung, Kapolri dan Kemenkominfo. Implementasinya sebenarnya sama, bahwa UU ITE yang berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik kembali ke KUHP pasal 310 atau 311. Kemudian deliknya adalah delik aduan absolut. Berarti delik aduan yang diadukan oleh orang yang merasa dihina, bukan lembaga, institusi atau badan hukum. Begitu kira-kira,” ungkapnya.
Baca Juga: Aspirasi Karyawan RS Haji Akan Dibahas di UIN Jakarta oleh Kemenag
Dikatakan Nurwasis, banyak terjadi hal yang tidak ideal dalam proses penegakan hukum. Polisi dalam proses penyidikan ada mekanisme yang dilalui. Jika tidak dilakukan, maka polisi yang akan kena sanksi.
“Di Kota Malang, rangking pertama penipuan online. Dulu penipuan di pasal KUHP, tapi karena menggunakan sarana internet, maka diberlakukan UU ITE. Itu yang paling banyak. Kedua adalah pencemaran nama baik. Ini juga ada, pencemaran nama baik memang diatur di KUHP, tapi karena menggunakan sarana internet, maka diatur di UU ITE,” ujarnya.
Dia menjelaskan tentang Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, Nurwasis menegaskan bahwa polisi hanya melaksanakan UU yang berlaku dan diberlakukan. Posisinya serba salah jika tidak melaksankan tugas sesuai UU. Menanggapi keluhan sejumlah korban yang tergabung dalam Paku ITE, Nurwasis menyarankan bisa melakukan pra peradilan.
“Menanggapi beberapa persoalan dari korban, bahwa polisi hanya melaksanakan UU yang berlaku dan diberlakukan. Bagaimana penyidik melakukan proses, mencari perbuatan pidana. Harus ditemukan unsurnya, kalau ditemukan dan tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya, polisinya yang digugat. Kami ada mekanisme kontrol yang namanya pra peradilan. Jika dalam kasus UU ITE, ada yang tidak pas, maka bisa melakukan pra peradilan ke kami. Itu bagi kami solusi,” tegasnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Widyagama Malang, Dr Zulkarnain, menyatakan bahwa cyber crime kejahatan yang biasa terjadi, tapi karena menggunakan fasilitas tertentu, maka digunakanlah UU ITE. Ia mengatakan, sejumlah kasus UU ITE telah sampai ke tingkat kasasi. Ia mendorong peningkatan literasi hukum bagi aparat penegak hukum. Pasalnya, rendahnya literasi hukum membuat proses hukum menjadi tidak adil.
Ia juga mengatakan ada beberapa hal yang perlu diantisipasi, yakni UU ITE saat ini belum direvisi. Selama UU ITE belum direvisi, maka kaidan di dalamnya tetap berlaku. Maka dari itu, perlu ada revisi terhadap UU ITE.
“Bahwa selama normanya masih berbicara seperti itu, maka akan menjadi salah polisi kalau tidak memproses sesuai kaidahnya. Perkara nanti setelah diproses para pihak mediasi, maka bisa dihentikan. Ini adalah delik aduan absolut. Bagaimana mencegahnya, mau tidak mau harus ada revisi terhadap kaidah yang mengaturnya,” tegasnya.
Ia berharap, para penegak hukum bisa bertindak sesuai dengan apa yang disampaikan dalam forum-forum diskusi dengan publik. Menurutnya, perilaku penegak hukum dalam menjalankan tugas menjadi taruhan penting untuk menegakan hukum itu sendiri. ***