Kemen PPPA Dampingi Anak Korban Penganiayaan oleh Keluarga Terdekat di Malang, Jawa Timur

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengecam keras tindakan kekerasan fisik terhadap anak korban DDP (7) oleh 5 (lima) orang terduga pelaku yang merupakan ayah kandung, ibu tiri, nenek tiri, kakak tiri, dan paman tiri di Malang, Jawa Timur. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menegaskan bahwa terduga pelaku dapat diancam dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

“Kami mengecam keras segala bentuk tindak kekerasan fisik berupa penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak apalagi yang dilakukan oleh keluarga terdekat korban sebagaimana yang terjadi pada anak korban DDP. Anak korban DDP mengalami penyekapan dan kekerasan fisik sejak April 2023 silam oleh keluarga terdekat yang mengasuhnya yakni ayah kandung, ibu tiri, dan keluarga ibu tirinya. Para terduga pelaku dapat dikenakan UU PA dan dapat ditambah sepertiga apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya, serta UU PKDRT,” ujar Nahar dalam keterangannya, Senin (16/10).

Nahar mengemukakan, awal mula terungkapnya kasus tersebut dari keberanian anak korban yang berhasil kabur dan meminta bantuan tetangga pada 9 Oktober 2023. Kondisi anak korban saat itu dipenuhi bekas luka dan kelaparan karena anak korban jarang diberi makan oleh terduga pelaku. Tetangga anak korban lantas segera menghubungi perangkat Rukun Warga (RW) dan Desa yang kemudian diteruskan ke pihak Kepolisian. Dari situ Kepolisian segera berkoordinasi dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DinsosP3AP2KB) Kota Malang. Pada 10 Oktober 2023, Kepolisian melakukan penangkapan kepada seluruh terduga pelaku dan DinsosP3AP2KB melakukan evakuasi dan asesmen terhadap korban serta membawa korban ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Saiful Anwar Malang.

“Anak korban DDP selama ini disekap di ruangan kecil dan tidak diizinkan untuk keluar sama sekali. Anak korban pun mengaku bahwa jarang sekali diberikan makan, sering disiksa oleh keluarga, dan kerap kali mengalami kekerasan fisik diantaranya seperti dipukul, disundut rokok, dicekik, dipukul dengan rotan, dan dicelupkan kedua tangannya ke panci yang berisi air mendidih. Kondisi anak korban saat ditemukan tetangga dalam keadaan kelaparan dengan banyak bekas luka, terlebih yang melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi itu sendiri adalah keluarga anak korban,” jelas Nahar

Baca Juga: Menteri PPPA Deklarasikan Komitmen Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan koordinasi yang di lakukan oleh Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur, dan UPTD PPA Kota Malang didapatkan bahwa UPTD PPA Provinsi Jawa Timur dan UPTD PPA Kota Malang terus melakukan pemantauan, pendampingan, dan penanganan bersama. UPTD PPA Kota Malang telah melakukan evakuasi terhadap anak korban, melakukan rujukan ke RSUD Saiful Anwar Malang untuk pemeriksaan kondisi Kesehatan anak korban, mendampingi pelapor untuk melakukan pelaporan kepada Polresta Malang Kota, dan mendampingi secara psikologis terhadap anak korban, serta melakukan monitoring berkala terhadap kondisi anak korban yang didampingi oleh DinsosP3AP2KB Kota Malang.

“Kami pun akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk melakukan penelusuran keberadaan ibu kandung anak korban dan juga berkoordinasi dengan DinsosP3AP2KB Kota Malang untuk penempatan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) bilamana ibu kandung tidak diketahui keberadaannya atau tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh anak korban. Kami juga akan terus melakukan pemantauan terhadap proses hukum agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memastikan anak korban mendapatkan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” tutur Nahar.

Nahar pun mengungkapkan, seusai pemeriksaan kesehatan dan perawatan luka yang dialami anak korban, akan dilakukan asesmen dan pendampingan psikologis berkelanjutan untuk melihat kondisi mental anak korban sehingga dapat segera diberikan penanganan yang tepat dan sesuai kebutuhan agar anak korban tidak mengalami traumatis berkepanjangan dan dapat kembali menjalani hidup dengan normal. Selain itu, terkait hak pendidikannya pun perlu dipastikan agar anak mendapatkan hak Pendidikan dan membantu anak dalam proses sosialisasi dengan teman sebaya serta lingkungan anak.

“Anak korban perlu mendapatkan kepastian keamanan, tempat tinggal yang layak dan aman, serta keberlanjutan pengasuhan kedepannya karena dampak anak yang mengalami kekerasan cenderung akan merasa tidak berguna, menjadi pendiam, mengisolasi diri, dan tidak mampu bergaul sehingga berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak yang mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebayanya. Hal seperti itulah yang harus kita hindari karena anak korban memiliki hak dan masa depan yang cerah untuk melanjutkan hidupnya,” tegas Nahar.

Baca Juga: KemenPPPA Cetak Fasilitator Nasional Pencegahan Perkawinan Anak

Lebih lanjut, Nahar menjelaskan atas tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh terduga pelaku terhadap anak korban, terduga pelaku telah melanggar Pasal 76C jo Pasal 80 Ayat (2) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak dalam hal ini anak mengalami luka berat, maka terduga pelaku diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dapat ditambah sepertiga apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.

Selain itu, terduga pelaku pun dikenakan Pasal 44 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dan mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

“Kami akan terus memantau proses hukum agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dibutuhkan pendampingan psikologis yang intensif kepada anak korban agar dapat mengikuti proses hukum secara maksimal dan pendampingan yang bersifat rehabilitatif atau intervensi psikologis untuk fungsi pemulihan dari dampak traumatis yang ditimbulkan dari peristiwa yang dialami,” tandas Nahar.

Nahar juga menyampaikan agar masyarakat segera melapor kepada pihak berwajib jika mendapatkan atau menemui kasus kekerasan di sekitarnya. Dengan berani melapor, maka akan dapat mencegah berulangnya kasus sejenis terjadi kembali. Kemen PPPA mendorong masyarakat yang mengalami atau mengetahui segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk segera melaporkannya kepada SAPA 129 melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *