Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kemen PPPA, Ciput Purwianti dalam Rapat Koordinasi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan yang dilaksanakan secara hybrid (01/03). (Foto: KemenPPPA RI)
Surabaya, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong pondok pesantren menerapkan standar pencegahan dan perlindungan anak dari kekerasan. Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kemen PPPA, Ciput Purwianti menyampaikan langkah pencegahan dan perlindungan anak dari kekerasan tersebut dilaksanakan di dua pondok pesantren yang berada di Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri, lokus terjadinya perundungan yang mengakibatkan santri junior kehilangan nyawa.
“Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan sekaligus menyelenggarakan pengasuhan anak, lingkungan pondok pesantren harus aman dan ramah bagi anak. Oleh karenanya, ponpes harus memiliki mekanisme pengaduan dan penanganan kekerasan terhadap anak sesuai panduan dan standar yang ditetapkan Kemen PPPA. Untuk mewujudkan hal tersebut standar Lembaga Perlindungan Khusus Ramah Anak (LPKRA) dan Pesantren Ramah Anak (PRA) perlu diterapkan,” kata Ciput dalam Rapat Koordinasi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan yang dilaksanakan secara hybrid (01/03).
Ciput menyampaikan upaya komprehensif dalam mencegah keberulangan kasus perundungan melalui Pesantren Ramah Anak dan memenuhi standar LPKRA perlu dilakukan oleh seluruh elemen. Sinergi dan koordinasi antara pondok pesantren, pemerintah daerah, unit pelaksana teknis daerah yang membidangi perlindungan perempuan dan anak, dan perwakilan Kementerian Agama di daerah perlu saling bekerja sama.
“Sinergi dan kolaborasi perlu dilakukan untuk mencegah dan melindungi anak dari kekerasan khususnya yang terjadi di pondok pesantren. Kemen PPPA bersama Kemenag akan terus hadir untuk memberikan pendampingan teknis pada kedua pondok ini, dimulai dengan penandatanganan komitmen dan pakta integritas oleh seluruh warga Pondok Pesantren untuk mewujudkan PRA dan LPKRA,” tutur Ciput.
Ciput menyampaikan langkah-langkah pencegahan kekerasan di lingkungan pondok pesantren yang perlu dilaksanakan. Pertama, pencegahan tersier dilaksanakan dalam rangka mengurangi tindakan perundungan secara segera melalui pendampingan psikologis, hukum dan pengasuhan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) dan keluarganya.
Baca Juga: Klarifikasi Kemen PPPA terhadap Kekeliruan Pemberitaan Media atas Kasus Perundungan di Serpong
“Adapun upaya tersier yang telah dilakukan bagi AKH dan keluarga agar memahami konsekuensi akibat tindakan yang dilaksanakan melalui pendampingan hukum dan psikologis. Namun begitu, selama proses hukum berjalan, memastikan AKH yang merupakan siswa kelas 12 dapat mengikuti ujian perlu dilaksanakan,” jelas Ciput.
Selanjutnya, pencegahan sekunder dilaksanakan dengan membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan di pondok, serta memberikan pendampingan psikologis kepada para santri.
“Pendampingan psikologis kepada para santri dilaksanakan untuk memastikan tidak ada korban kekerasan yang belum tertangani karena tidak berani melapor. Selain itu, pendampingan psikologis diharapkan bisa mencegah risiko terjadinya perundungan melalui asesmen untuk melihat jika ada santri yang memiliki kecenderungan perilaku kekerasan,” kata Ciput.
Ciput menambahkan pencegahan primer juga perlu dilaksanakan melalui penerapan disiplin positif oleh para pengasuh, pendidik dan pendamping santri, serta pencegahan perundungan dengan program Roots secara berkelanjutan.
Rapat Koordinasi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan dihadiri oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jatim, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar, perwakilan Kemenag Kabupaten Kediri dan pihak pondok pesantren.***