Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar. (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui layanan SAPA 129 terus berkoordinasi dengan Polres Jakarta Selatan, mengawal kasus bullying yang menimpa seorang siswa RE (18) di Simprug, Jakarta.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menyatakan koordinasi akan terus dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan, pendampingan dan pemulihan psikologis, serta hak-haknya terpenuhi selama proses hukum berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan.
“Setiap anak berhak mendapatkan lingkungan yang aman, nyaman dan kondusif untuk belajar dan berkembang. Tim Layanan SAPA129 juga akan mengupayakan menjangkau kepada keluarga korban, untuk memastikan kondisi psikologis korban agar dapat mengikuti proses hukum secara maksimal dan pendampingan yang bersifat rehabilitatif.” ucap Nahar.
Nahar mengungkapkan, para terduga pelaku dapat dijerat Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta. Ancaman tersebut jika dipenuhi unsur pidana dalam Pasal 76C UU 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak”. Selain kekerasan fisik, korban juga diduga mendapat pelecehan seksual fisik, dimana para terduga pelaku dapat dijerat Pasal 6 huruf a UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pindana Kekerasan Seksual dengan dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat.” Akan tetapi, perlu diperhatikan jika terduga pelaku adalah Anak Berkonflik dengan Hukum (AKH), maka perlu disesuaikan dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)” tegas Nahar.
Baca Juga: Kemen PPPA Bersama LPKA Perkuat Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum
Nahar juga mengatakan minimnya penanaman nilai-nilai moral pada anak dan pengaruh teman sebaya dapat mengakibatkan perlakuan kekerasan serta menindas anak lain yang dianggap lemah oleh sekelompok anak, begitu pula dengan lingkungan yang rentan, dimana lingkungan sekolah seharusnya mampu memberikan rasa aman dan tidak mendukung kekerasan, tanpa pembiaran, memiliki mekanisme pengawasan dan pendampingan, serta meminimalkan risiko-risiko terjadinya kekerasan yang bisa terjadi pada siswa, maka berbagai kebijakan dan program perlu terus difokuskan pada Satuan Pendidikan atau Sekolah Ramah Anak (SRA).
Dalam kasus ini Korban diduga mulai mengalami perundungan sejak pertama kali masuk sekolah pada November 2023. Pada awalnya kekerasan bersifat verbal dan fisik ringan, namun pada tanggal 30 dan 31 Januari 2024, korban mengalami kekerasan fisik berat serta dugaan pelecehan seksual. Kondisi anak saat ini masih diasuh oleh orang tua karena masih sekolah. “Pendamping perlu melakukan penguatan kepada anak dan melakukan pemeriksaan psikologis. Apabila ditemukan tanda-tanda permasalahan psikologis agar dapat diberikan treatment sehingga anak dapat pulih dan berdaya kembali. Hasil pemeriksaan psikologis ini juga akan digunakan sebagai bukti pendukung dalam proses hukum ke depannya.” ungkap Nahar.
Nahar menyampaikan pihaknya mengapresiasi langkah cepat pihak kepolisian yang segera menindaklanjuti laporan korban dengan memanggil 18 saksi yang terdiri dari siswa, guru, orang tua dan pihak sekolah untuk dimintai keterangan. Proses hukum sudah naik sidik dan telah menetapkan 8 terduga AKH serta masih dilakukan pendalaman lebih lanjut, sehingga kemungkinan masih akan bertambah. Kemen PPPA akan mengawal proses hukum agar sesuai dengan SPPA.
“Kemen PPPA mendesak seluruh pihak, khususnya orang tua dan lingkungan pendidikan, untuk memberikan perhatian yang lebih dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Setiap anak berhak mendapatkan lingkungan yang aman dan kondusif untuk belajar dan berkembang,” kata Nahar.
“Jika masyarakat melihat tindak kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08-111-129-129. Tim layanan SAPA 129 akan terus berkoordinasi dengan UPPA Polres Jakarta Selatan untuk memantau proses kasus Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) dan memastikan AMPK mendapatkan hak-haknya sesuai kebutuhan, serta mengawal proses hukum.” tutup Nahar.***