Kemen PPPA Kecam Oknum Guru yang Lakukan Kekerasan Seksual kepada Murid SD di Yogyakarta

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar (Foto: KemenPPPA RI)

Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam dugaan kasus kekerasan seksual terhadap 15 (lima belas) murid Sekolah Dasar (SD) swasta di Yogyakarta yang dilakukan oleh guru content creator, NB (22th). Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menyatakan perbuatan pelaku dikhawatirkan dapat menimbulkan trauma panjang bagi para korban.

“Kami sangat prihatin dengan terjadinya kasus ini. Dari hasil koordinasi Tim Layanan SAPA 129 dengan UPTD PPA Yogyakarta, korban berjumlah 15 (lima belas) siswa, sementara yang saat ini berani melapor hanya 4 (empat) siswa.  Usia mereka berkisar 11 hingga 12 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Akibat tindakan pelaku yang diduga melakukan kekerasan seksual sekaligus kekerasan fisik, beberapa korban terindikasi mengalami trauma. Kami berharap pihak aparat kepolisian dapat mengusut tuntas kasus ini dan mendalami korban-korban lainnya,” harap Nahar dalam keterangannya pada Selasa (09/1).

Nahar menyatakan Tim Layanan SAPA 129 akan terus melakukan koordinasi dan memastikan para korban mendapatkan layanan pendampingan yang dibutuhkan.

“Tim Layanan SAPA 129 dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Yogyakarta telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta, Dinas Pendidikan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Yogyakarta. Hari ini rencananya akan dilakukan pembahasan tindak lanjut kasus kekerasan seksual yang terjadi bersama pihak sekolah dan kuasa hukum dari sekolah,” ujar Nahar.

KemenPPPA juga mengupayakan agar para korban mendapatkan layanan pendampingan psikologis. “Korban yang mengalami tindak kekerasan seksual, akan rentan merasa rendah diri, merasa takut, cemas, hingga depresi. Hal ini akan berpengaruh pada aspek belajar serta bersosialisasi di lingkungan. Korban juga akan rentan mengalami secondary trauma terutama jika adanya stigmatisasi dari masyarakat yang lebih cenderung akan menyalahkan korban. Koordinasi kami dengan UPTD PPA Yogyakarta akan memastikan agar para korban mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum. Pendampingan psikolog dapat membantu korban untuk mengatasi dampak psikologis yang dialaminya, sementara pendampingan hukum dapat membantu korban untuk mendapatkan keadilan dan hak-haknya,” ujar Nahar.

Baca Juga: KemenPPPA Optimis 2024, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lebih Maju

Dari hasil koordinasi tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Yogyakarta diketahui pencabulan diduga terjadi sejak Agustus hingga Oktober 2023. Pelaku melakukan tindak kekerasan seksual dengan menyodorkan senjata tajam ke korban. Selain itu, korban juga dipertontonkan video dewasa dan mengajarkan siswa menggunakan aplikasi yang menyediakan layanan pekerja seks komersial.

Berdasarkan pasal 82 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang maka pelaku  dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak 5.000.000 (lima miliar rupiah). Jika dalam hal ini dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, atau pengasuh anak dan juga mencabuli lebih dari 1 (satu) orang, maka dapat dikenakan tambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana.

Nahar juga mendorong penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dilakukan di luar proses peradilan sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Nahar mengimbau untuk institusi pendidikan lebih berhati-hati dalam mengambil tenaga bantu pendidikan di sekolah, bisa dengan melakukan pendampingan selama proses belajar mengajar. Belajar dari peristiwa ini, perlu dipikirkan juga bagi sekolah melakukan edukasi terkait isu seksualitas bagi siswa di sekolah. Sosialisasi dan psikoedukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang seksualitas, sehingga mereka dapat terhindar dari kekerasan seksual.

Nahar juga mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian. Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08 -111-129-129.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *