Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny Rosalin, dalam Seminar Nasional Literasi Hukum bagi Perempuan “Perkuat Pemberdayaan dan Perlindungan Hak Perempuan”, di Jakarta, Senin (13/11). (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Perempuan sebagai kelompok rentan perlu memiliki dan dibekali dengan pengetahuan hukum yang memadai. Kesadaran hukum ini penting karena sebagian perempuan masih berhadapan dengan sistem masyarakat yang cenderung menempatkannya dalam posisi subordinat yang juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Ketika perempuan memiliki pengetahuan dan pemahaman hukum yang baik, maka ia akan lebih percaya diri dan tidak mudah terbuai tipu daya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Penyadaran hukum bagi perempuan adalah bagian dari upaya untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi. Jika perempuan Indonesia yang mencakup setengah dari penduduk Indonesia meningkat kesadaran hukumnya, maka diharapkan tercipta kondisi di mana perempuan merasa aman di tengah masyarakat. Hal yang terpenting, pembangunan literasi hukum bagi salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang sedang kita upayakan saat ini, akan berkontribusi dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik,” tutur Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny Rosalin, dalam Seminar Nasional Literasi Hukum bagi Perempuan “Perkuat Pemberdayaan dan Perlindungan Hak Perempuan”, di Jakarta, Senin (13/11).
Lenny mengatakan, kesadaran hukum bagi perempuan tidak terlepas dari isu kesetaraan gender. Menurutnya, data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), hingga Indeks Kesenjangan Gender (IKG) masih menunjukkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Lenny mencontohkan angka IPG tahun 2022 yang telah berhasil mencapai angka 91,63. Meski sudah mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tetapi angka ini masih mengindikasikan terjadinya kesenjangan gender pada hasil pembangunan, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
“Perempuan perlu terus memperluas pengetahuannya tentang hukum, jenis-jenis hukum, sistem hukum, proses hukum, lembaga-lembaga hukum, hak dan kewajiban hukum, serta pengetahuan tentang hak asasi manusia. Literasi kesadaran hukum ini penting dikuatkan sebagai pilar pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan itu sendiri. Tidak hanya itu, perempuan saat ini juga dituntut memiliki pemahaman hukum yang baik serta memiliki kemampuan untuk menggambarkan dan menjelaskan prinsip-prinsip hukum, norma-norma hukum, dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,” ujar Lenny.
Lebih lanjut, Lenny menyebutkan, tidak hanya kualitas hidupnya yang masih lebih rendah dibanding laki-laki, perempuan juga masih rentan menjadi korban kekerasan. Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, sebesar 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan.
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia telah mewujudkan payung hukum komprehensif dalam upaya melindungi perempuan melalui pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Farida Farid menyebutkan beberapa dorongan implementasi kebijakan dalam perlindungan dan pemenuhan HAM, di antaranya penguatan kapasitas perancang peraturan perundang-undangan terkait HAM; rekomendasi CEDAW, Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), Tinjauan Berkala Universal (UPR), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR); hingga dorongan implementasi UU TPKS.
“Saat ini pemerintah sedang menyusun 7 (tujuh) peraturan pelaksana, Kementerian Hukum dan HAM juga sudah menyusun naskah kebijakan salah satu Peraturan Pemerintah terkait pemenuhan, perlindungan, penanganan korban TPKS,” kata Farida.
Baca Juga: Kemen PPPA Latih Fasilitator Nasional Pengasuhan Keluarga Berbasis Hak Anak
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Uli Pangaribuan juga menggarisbawahi kendala pengimplementasian UU yang berkaitan dengan perlindungan perempuan, seperti UU TPKS maupun UU PKDRT.
“Dari 75 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta pada 2022, hanya 5 kasus yang berhasil lapor sampai tingkat kepolisian, sedangkan sisanya mendapatkan layanan konseling hukum, penanganan secara psikologis, rujukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga layanan lainnya. Hal ini dikarenakan substansi UU TPKS masih banyak belum dipahami oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Pada saat kami melaporkan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), justru APH mendorong menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kami sampaikan di dalam UU ITE tidak ada perlindungan dan pemenuhan hak korban,” tutup Uli.
Seminar Nasional Literasi Hukum bagi Perempuan “Perkuat Pemberdayaan dan Perlindungan Hak Perempuan” dibagi menjadi dua panel dengan 6 (enam) narasumber dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung, LBH APIK, KAPAL Perempuan, dan aktivis kesetaraan gender. Kegiatan ini diikuti oleh para perempuan dari berbagai lembaga masyarakat, Pusat Studi Wanita/Gender (PSW/G), perguruan tinggi, dan Perempuan Pelopor Pembangunan di Desa Tahun 2020-2023.***