Serayunusantara.com – Isu kesehatan mental pada perempuan kerap dibungkam oleh budaya, beban sosial, serta ekspektasi yang terus menumpuk.
Kerentanan ini bukan karena perempuan lebih lemah, tetapi karena posisi mereka sering terhimpit oleh tekanan berlapis dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah emosional perempuan kerap diremehkan sebagai sekadar “baper” atau “mood swing”, padahal sering kali merupakan tanda kelelahan mental yang serius.
Mengapa Perempuan Lebih Rentan?
1. Beban Peran Ganda
Perempuan kerap menjalankan peran di dua ranah sekaligus: keluarga dan pekerjaan. Meskipun bekerja penuh waktu, tuntutan untuk tetap mengurus rumah dan anak tetap melekat.
Kombinasi tanggung jawab ini memicu kelelahan, stres, dan tekanan emosional berkepanjangan.
2. Tekanan Sosial dan Standar Kecantikan
Perempuan berhadapan dengan tuntutan penampilan yang tidak realistis.
Media sosial memperkuat standar tubuh dan gaya hidup tertentu yang sulit dicapai, sehingga memengaruhi rasa percaya diri dan memicu kecemasan hingga depresi.
3. Pengalaman Kekerasan dan Pelecehan
Berbagai laporan menunjukkan bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling rawan mengalami kekerasan berbasis gender.
Trauma dari kekerasan tersebut meninggalkan dampak psikologis panjang seperti gangguan kecemasan, trauma, dan kesulitan membangun rasa aman.
4. Faktor Biologis dan Hormonal
Perubahan hormon akibat menstruasi, kehamilan, persalinan, hingga menopause turut memengaruhi kondisi emosional.
Sayangnya, kondisi ini sering dianggap remeh atau disalahkan sebagai “hormonal”, tanpa memahami bahwa perempuan membutuhkan ruang untuk pulih.
5. Minimnya Ruang Aman
Banyak perempuan enggan bercerita karena takut dianggap berlebihan, lemah, atau merepotkan. Ketakutan ini membuat mereka memendam tekanan hingga menimbulkan masalah yang lebih berat.
Dampak Kerentanan Mental Perempuan
Tingkat depresi perempuan secara global tercatat lebih tinggi daripada laki-laki. Mereka lebih rentan mengalami kecemasan, gangguan makan, serta trauma akibat kekerasan.
Ketika beban mental ini tidak ditangani, dampaknya meluas pada kualitas hidup, hubungan sosial, dan produktivitas. Sayangnya, berbagai gejala ini sering tertutup oleh standar masyarakat yang menuntut perempuan untuk selalu kuat dan sabar.
Solusi: Langkah yang Dapat Dilakukan
1. Menormalkan Pembicaraan tentang Kesehatan Mental Perempuan
Keluhan emosional perempuan harus diperlakukan sebagai masalah kesehatan yang nyata, bukan drama.
2. Menyediakan Layanan Psikologi yang Ramah Perempuan
Tenaga profesional yang memahami konteks psikologis perempuan, termasuk trauma berbasis gender, perlu diperbanyak.
3. Reformasi Kebijakan Kerja
Tempat kerja harus memberikan ruang yang lebih sensitif, seperti fleksibilitas waktu, izin kesehatan mental, dan fasilitas bagi ibu bekerja.
4. Perlindungan dari Kekerasan
Pemerintah perlu memperkuat layanan pengaduan, pendampingan hukum, tempat aman, serta penanganan trauma untuk korban kekerasan.
5. Membangun Ruang Aman Komunitas
Komunitas perempuan, kelompok dukungan, serta forum diskusi bisa menjadi tempat berbagi pengalaman tanpa stigma.
6. Pendidikan Emosional Sejak Usia Dini
Anak perempuan perlu diajarkan pentingnya batas diri, keberanian berkata tidak, pengelolaan emosi, dan hak untuk mencari pertolongan.
Kesimpulan
Kerentanan mental perempuan tidak boleh lagi dianggap sebagai hal biasa. Ini bukan perkara hormon atau sifat sensitif, tetapi hasil dari tekanan sosial, peran berlapis, dan trauma yang sering diabaikan.
Solusi harus hadir dari berbagai pihak: keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan negara. Perempuan membutuhkan dukungan emosional dan ruang aman untuk pulih.
Kesehatan mental perempuan merupakan fondasi penting bagi kesejahteraan sosial. Perempuan yang sehat secara emosional akan melahirkan lingkungan dan generasi yang lebih kuat.
Penulis: Reyda Hafis













