Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyayangkan pemberitaan kasus perundungan (bullying) SMA Internasional di Serpong yang dipublikasikan oleh beberapa media online skala nasional yang dapat menimbulkan kekeliruan atas pernyataan Kemen PPPA yang dikutip oleh media pada pemberitaan konferensi pers yang diselenggarakan oleh Polresta Tangerang Selatan pada Jum’at siang (01/03/2024). Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menyatakan kekeliruan dapat terjadi pada pengutipan atas “diversi” pada anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) dikhawatirkan menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat.
“Siang tadi Kemen PPPA menjadi salah satu narasumber pada konferensi pers kasus perundungan di SMA Internasional di Serpong yang diselenggarakan oleh Polresta Tangerang Selatan. Kami menyambut baik konferensi pers tersebut setelah pihak aparat kepolisian menetapkan 4 tersangka dewasa dan 8 tersangka masih berusia anak atau selanjutnya disebut anak yang berkonflik dengan hukum (AKH). Pada keterangan pers, kami (Kemen PPPA) menegaskan upaya mengawal proses hukum sekaligus memastikan khususnya hak-hak para AKH tetap menjadi perhatian dan salah satunya adalah upaya diversi. Kami mendorong pihak Polresta Tangerang Selatan untuk upaya diversi jika sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Anak dan PP No 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berusia 12 tahun. Beberapa media skala nasional dalam judul berita (headlines) justru memposisikan bahwa pihak Kemen PPPA yang mengajukan atau meminta upaya diversi. Kami tegaskan bahwa Kemen PPPA tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi pada upaya hukum sehingga Kemen PPPA bukan sebagai pihak yang mengajukan atau melakukan upaya diversi. Kesalahan dalam pemilihan judul atau headlines sangat mengkhawatirkan mengingat kondisi masyarakat, di mana hanya dengan membaca judul berita yang salah , masyarakat dapat langsung terpicu bereaksi dengan cepat. Jadi sekali lagi kami tegaskan bahwa Kemen PPPA tidak dapat melakukan upaya diversi,” tegas Nahar.
Nahar juga minta agar media untuk tidak mempublikasikan kembali identitas, baik anak korban dan anak berkonflik dengan hukum, agar anak tidak mendapatkan trauma berkepanjangan.
“Kami berharap media tidak lagi menayangkan identitas korban dan pelaku. Perspektif yang dipakai adalah perspektif anak karena korban dan pelaku sama-sama masih berusia anak. Hal ini sudah dijamin dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 19 ayat 1, yang menyebutkan bahwa identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Pasal 19 ayat 2, menyebutkan bahwa Identitas sebagaimana yang dimaksud ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkapkan identitas jati diri Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi,” ujar Nahar.
Baca Juga: Kemen PPPA Kawal Kasus Kekerasan di Pondok Pesantren di Kediri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 1 Ayat 7, yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.***