Jatim, serayunusantara.com – Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur, Chusni Mubarok, menyampaikan bahwa saat ini pihaknya tengah memprioritaskan pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai perlindungan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
“Kami telah mengunjungi sejumlah daerah guna menyerap aspirasi. Salah satunya ke wilayah tambak garam di Madura, di mana para petambak menyampaikan keluhan terkait kesulitan pemasaran hasil produksi dan harga jual yang tidak sesuai harapan,” ungkapnya, Jumat (18/7/2025).
Ia menambahkan, kondisi ini mendorong pentingnya peningkatan kualitas produksi garam agar mampu bersaing di pasar, terutama memenuhi standar untuk kebutuhan industri. “Agar garam rakyat dapat diterima sebagai garam industri, tentu harus memenuhi beberapa kriteria tertentu,” jelas Chusni.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu memberikan pendampingan komprehensif kepada para petambak. Mulai dari penyuluhan mengenai persyaratan, pelatihan, penyediaan alat produksi, hingga bantuan modal agar para petambak bisa berkembang lebih profesional.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Pelopor Petambak dan Pedagang Garam Madura (P4GM), Aufa Marom, meminta agar usulan Raperda tersebut segera ditindaklanjuti DPRD Jatim. “Raperda ini penting untuk mengendalikan masuknya garam impor secara bebas di Jawa Timur, setidaknya hingga target swasembada garam tercapai pada 2028,” ujarnya.
Baca Juga: Gubernur Khofifah Salurkan Bansos Rp6,7 Miliar untuk Warga Bojonegoro
Ia juga mendorong agar dalam proses uji materi Raperda, DPRD mengikutsertakan seluruh elemen terkait, agar substansi peraturan tidak berubah dan mampu menjawab persoalan garam secara menyeluruh. “Terlebih, 80 persen pelaku industri pengolahan garam berada di Jawa Timur,” tambah Aufa.
Menurutnya, penting bagi DPRD untuk membedakan antara aspek perlindungan dan pemberdayaan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Hal ini juga harus sejalan dengan program percepatan swasembada garam sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2025.
Ia juga menyoroti peran PT Garam yang dinilai justru bersaing dengan petambak garam rakyat, alih-alih menyerap hasil produksi mereka. Selain itu, terkait permodalan, Aufa menyebut sejak 2013 hingga kini belum ada bantuan langsung untuk alat produksi seperti geomembran, kincir, maupun pelatihan yang sesuai kebutuhan prosesor.
“Kami dituntut memproduksi garam berkualitas, namun tanpa dukungan memadai, mustahil mencapai target swasembada,” keluhnya.
Aufa juga menambahkan, kondisi cuaca tahun ini yang kurang bersahabat akibat anomali iklim berpotensi menyebabkan lonjakan impor garam hingga lebih dari 500 ribu ton. Ia berharap Raperda ini segera disahkan agar dapat mengendalikan peredaran garam impor di Jawa Timur yang selama ini berdampak pada kesejahteraan petambak garam lokal. (Serayu)