Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita yang diselenggarakan secara hybrid di Jakarta, Jumat (15/12). (Foto: Kemenkeu RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman Kemenkeu RI, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kondisi perekonomian global masih diliputi ketidakpastian sampai dengan akhir tahun ini. Hal ini disampaikannya dalam Konferensi Pers APBN Kita yang diselenggarakan secara hybrid di Jakarta, Jumat (15/12).
Risiko dan ketidakpastian global ini dipicu dinamika negara-negara maju yang berdampak ke global. Amerika Serikat masih dihadapkan pada inflasi yang berada di atas target, tingginya suku bunga, peningkatan tekanan fiskal, dan tergerusnya excess saving yang membayangi pelemahan ekonomi. Sementara itu, negara maju lainnya yakni RRT masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19 dan Eropa yang kondisi ekonominya melemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi oleh core inflation yang masih tinggi.
“Selain masalah ekonomi, kondisi geopolitik juga menunjukkan resiko yang makin tinggi. Kita lihat perang di Ukraina maupun di Timur Tengah, terutama Palestina yang tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir menimbulkan downside risk terhadap prospek pertumbuhan ekonomi. Sentimen global juga akan dipengaruhi yang akan menimbulkan volatilitas di sektor keuangan dan prospek dari perang yang belum berakhir dan bahkan mungkin akan melebar akan menimbulkan tekanan proteksionisme dan melemahkan perdagangan global,” jelas Menkeu.
Menkeu melanjutkan, di sisi lain prospek pertumbuhan global diperkirakan masih akan lemah seperti yang disampaikan oleh lembaga internasional. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023 direvisi turun oleh IMF menjadi hanya 3% dan oleh Bank Dunia hanya 2,1%. Inflasi juga diprediksi mencapai level 5,8%, lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi.
Baca Juga: Dorong UMKM Indonesia Go Global, Kemlu-Kemenkeu Selenggarakan Pelatihan EMPRETEC UNCTAD
“Indonesia masih termasuk negara yang memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi tertinggi di lingkungan ASEAN dan di lingkungan G20 yaitu di 5%,” ungkap Menkeu.
Dalam paparannya, Menkeu juga menyampaikan dari sisi kegiatan manufaktur terlihat 69,6% negara berada di zona kontraksi seperti AS, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Sementara 30% lainnya berada di zona ekspansi termasuk Indonesia.
“Kalau kita lihat Indonesia kita terus menerus ada di dalam zona ekspansi yang cukup bertahan semenjak pandemi berakhir. Artinya banyak negara yang tadinya berharap setelah pandemi recover dan kegiatan manufakturnya tumbuh kuat, ternyata tidak mengalami situasi pemulihan dan pertumbuhan manufaktur. Yang terjadi justru pelemahan kegiatan manufakturnya. Jadi dalam konteks ini Indonesia termasuk di dalam kategori ekonomi dan kegiatan manufakturnya resilien atau tetap bisa bertahan positif dan ekspansif,” ujarnya.
Dari sisi harga komoditas, Menkeu mengatakan volatilitas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi supply dan demand, namun juga faktor politik dan perang ikut mengambil peranan. Secara keseluruhan, beberapa komoditas yang penting bagi ekonomi Indonesia menunjukkan koreksi yang cukup signifikan.
Baca Juga: Kemenkeu Berkomitmen Jaga Sinergi dan Kolaborasi Berantas Korupsi
“Batu bara turun 63% sejak awal tahun 2023, minyak turun 14,6% sejak awal tahun 2023 ytd, natural gas atau gas alam turun bahkan 43,7% ytd dari awal tahun, CPO turun 14,8%, gandum turun 23,4%, kedelai turun hampir 5%, dan beras turun 6,5%. Ini adalah komoditas-komoditas yang penting pengaruhnya di dalam perekonomian kita dan semuanya dalam kondisi penurunan year to date,” pungkas Menkeu.***