Jakarta, serayunusantara.com – Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah seperti puncak gunung es, namun upaya pencegahannya belum maksimal. Merepson hal itu, Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mendesak Pemerintah untuk memprioritaskan penerbitan aturan pelaksana sebagai implementasi atas Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. UU TPKS sudah disahkan lebih dari satu tahun, tapi belum bisa efektif diimplementasikan karena aturan teknisnya belum diterbitkan,” kata Puan, melalui rilis yang diterima Parlementaria, Rabu (31/5/2023).
Memang berdasarkan Pasal 91 UU TPKS, peraturan pelaksana ditetapkan paling lambat dua tahun sejak UU ini diundangkan. Meski begitu, menurut Puan, Pemerintah seharusnya bisa mempercepat penerbitan aturan turunan UU TPKS mengingat kasus kekerasan seksual sudah darurat di Indonesia.
“Penyelesaian aturan teknis UU TPKS harus menjadi prioritas mengingat kita menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, harus ada gerak cepat dari Pemerintah,” ucap perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 di mana terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.
Kemudian Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
Terbaru, seorang gadis berusia 15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, diperkosa oleh 11 orang pria yang di antaranya merupakan kepala desa, guru, dan anggota Kepolisian. Dari hasil pemeriksaan kesehatan, diketahui korban mengalami gangguan reproduksi sehingga perlu mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.
Selanjutnya, ada 41 orang santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana pelaku pencabulan merupakan pimpinan pondok pesantren. Kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di lingkungan lembaga pendidikan agama sepanjang tahun 2022 hingga pertengahan 2023, seperti di Provinsi Lampung, lalu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dan di Kota Batu, Jawa Timur.
Belum lama ini juga terdapat kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja di mana karyawan perempuan diminta ‘staycation’ bersama atasan jika ingin kontrak kerja diperpanjang. Kemudian ada juga pemerkosaan gadis 18 tahun di Cirebon, Jawa Barat, yang dilakukan oleh dua orang pemilik toko tempatnya bekerja dan pemerkosaan siswi SMP di Bondowoso oleh tetangganya sampai hamil.
Kasus yang cukup menghebohkan lainnya adalah pencabulan terhadap 17 anak perempuan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dilakukan seorang pria di apartemennya sejak Juli 2022 hingga Januari 2023. Di Bantul, DIY, juga terjadi pemerkosaan terhadap anak di bawah umur di mana pelakunya sempat buron.
“Sudah banyak sekali kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mau tunggu sampai kapan? Penyelesaian seharusnya tidak hanya berhenti dengan dihukumnya pelaku. Selain rehabilitasi korban, upaya pencegahan harus menjadi prioritas,” tegas Puan.
Menurut mantan Menko PMK ini, implementasi UU TPKS dapat memutus rantai kekerasan seksual di Indonesia karena memuat aturan upaya pencegahan. Puan mengatakan, upaya perlindungan masyarakat dari tindak kekerasan seksual dimulai dari tahapan pencegahan.
“Penyelesaian fenomena gunung es kasus kekerasan seksual memang harus dilakukan dari hulu ke hilir. UU TPKS sebagai hasil perjuangan banyak pihak juga dapat mengatur hak-hak pemulihan psikologis serta restitusi dan kebutuhan lainnya dari korban. Maka penting sekali aturan teknis UU TPKS segera diterbitkan,” ucapnya.
Puan menyebut, permasalahan kekerasan seksual seharusnya sudah bisa diterapkan dengan UU TPKS apabila sudah ada aturan teknisnya. Namun aparat penegak hukum hingga saat ini hanya menggunakan Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Undang-undang Perlindungan Anak dalam kasus kekerasan seksual di bawah umur.
“Padahal kasus kekerasan seksual bisa lebih efektif jika penegak hukum menerapkan pasal-pasal dalam UU TPKS. Apalagi di UU TPKS ada hukuman tambahan jika pelaku bekerja sebagai pelayan masyarakat,” terang Puan.
Sedianya, ada 5 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden yang akan dibuat sebagai amanat dari UU TPKS. Namun Pemerintah menyepakati penyederhanaan pembentukan aturan turunan menjadi 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden.
DPR RI sudah terus mendorong agar Pemerintah cepat menerbitkan aturan turunan UU TPKS sehingga penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa lebih komprehensif. Puan mengatakan, DPR menunggu komitmen Pemerintah. “Pemerintah juga harus menjelaskan sudah sampai mana penyusunan aturan teknis dari UU TPKS dan kapan target penyelesainnya,” ungkap Puan.
Di sisi lain, Puan mendorong masyarakat untuk mengawal penyelesaian aturan turunan UU TPKS. Selain itu, ia mengajak masyarakat untuk ikut memberi perlindungan terhadap korban-korban kasus kekerasan seksual. “Karena biasanya korban enggan melapor karena merasa takut atau trauma berat. Peran serta masyarakat dalam mengawal kasus kekerasan seksual sangat dibutuhkan,” sebut Puan.
Puan juga berharap implementasi UU TPKS dapat menekan jumlah kasus kejahatan seksual. “Saya berharap pelaku kejahatan seksual bisa mendapatkan ganjaran yang sepantasnya,” tutupnya. (rnm/aha)