Oleh: serayunusantara.com
Di tengah hiruk-pikuk Malioboro yang tak pernah sepi, berdiri sebuah rumah makan yang lebih dari sekadar tempat menyantap makanan. The House of Raminten, begitu orang mengenalnya — bukan hanya sebuah restoran, melainkan panggung budaya, simbol keunikan Jogja, dan potret kisah hidup seorang legenda.
Begitu memasuki ruangan yang penuh aroma dupa dan ornamen Jawa klasik, pengunjung seolah diajak menembus waktu. Lantai bermotif batik, gamelan yang mengalun lembut, hingga figur seorang perempuan berbusana kebaya hitam dan jarik batik yang menyambut dengan senyum khas — semuanya menghadirkan kesan mistik sekaligus hangat.
Dari Sosok Raminten yang Melegenda
The House of Raminten lahir dari tangan seorang seniman eksentrik yang mencintai budaya Jawa dengan sepenuh hati. Sosoknya dikenal dengan nama panggung Raminten, karakter yang menjadi ikon dari Hamzah Sulaeman, pendiri dan pemilik rumah makan ini. Raminten bukan hanya karakter fiksi, melainkan wujud kecintaan pada tradisi, keramahan, dan keunikan Yogyakarta.
Lewat peran “Mbok Raminten”, Hamzah menghadirkan satire sosial dan pesan moral dalam setiap gerak dan tawa. Dari situlah lahir gagasan untuk menciptakan tempat makan yang tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyejukkan jiwa.
Menu yang disajikan di The House of Raminten bukanlah hidangan modern, melainkan makanan rakyat yang dikemas dengan filosofi mendalam. Ada sego kucing, tahu bola-bola, wedang seruni, hingga jamu tradisional yang dihidangkan dengan cara klasik — dalam kendi tanah liat dan gelas kaca jadul.
Setiap suapan seolah bercerita tentang keseharian wong cilik, tentang perjuangan, dan tentang cinta terhadap akar budaya. Tak jarang pengunjung mengaku bukan hanya kenyang, tapi juga tersentuh oleh atmosfer spiritual yang menyelimuti setiap sudut rumah makan ini.
Ruang yang Menyimpan Kenangan dan Nilai
The House of Raminten juga menjadi tempat bagi siapa pun yang ingin merasakan Jogja dalam versi paling otentik. Ornamen-ornamen di dalamnya bukan pajangan semata, melainkan representasi perjalanan panjang sang pendiri. Di dinding terpajang potret Raminten dalam berbagai ekspresi — antara jenaka, lembut, dan penuh makna.
Namun, di balik gemerlap dan tawa, ada sisi haru. Raminten dikenal sebagai sosok yang dermawan dan mencintai sesama tanpa batas. Ia kerap membantu masyarakat kecil, membuka lapangan kerja, dan memberi tempat bagi seniman jalanan untuk tampil. Dari sinilah, kisah Raminten bukan hanya tentang kuliner, tapi tentang kemanusiaan.
Warisan Kuliner yang Membanggakan
Bagi masyarakat Yogyakarta, The House of Raminten telah menjadi bagian dari identitas kota. Tak hanya menyajikan makanan tradisional, tetapi juga menjaga nilai-nilai luhur budaya Jawa agar tak lekang oleh waktu.
Salah satu pengunjung, Agung, mengaku bangga dengan keberadaan rumah makan tradisional yang terus menjaga cita rasa dan nuansa lokal.
“Raminten ini bukan sekadar tempat makan, tapi tempat belajar menghargai budaya kita sendiri. Di sini, semua terasa tulus — dari cara mereka menyajikan makanan sampai keramahan para pelayan. Rasanya seperti pulang ke rumah,” ungkap Agung saat ditemui di sela kunjungannya.
Baginya, Raminten adalah bukti bahwa warisan kuliner Nusantara masih bisa bersaing dengan restoran modern tanpa kehilangan jati diri.
Menjaga Rasa dan Jiwa Jogja
Kini, The House of Raminten bukan sekadar ikon kuliner, melainkan warisan budaya yang terus hidup di hati masyarakat Yogyakarta. Setiap hari, wisatawan dari berbagai penjuru datang bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk merasakan jiwa Raminten — sebuah semangat yang mengajarkan bahwa kesederhanaan dan keikhlasan adalah cita rasa paling luhur dalam hidup.
Dengan dekorasi bunga yang menggantung indah, lantunan musik Jawa, dan senyum ramah para pramusaji yang berpakaian tradisional, Raminten seakan berbisik:
“Selamat datang di Jogja, selamat datang di rumah yang penuh cinta.” (Fak)