Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar saat melakukan diskusi dengan media dalam kegiatan Media Talk Kemen PPPA di Jakarta pada Jum’at (31/05). (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Perlindungan Anak dalam Ranah daring (PARD) saat ini dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Perpres PARD yang diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPPA) akan menjadi panduan mencegah semakin banyak anak menjadi korban kekerasan di ranah daring (internet).
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menyatakan bahwa RPerpres PARD adalah salah satu bentuk kehadiran negara untuk melindungi anak-anak yang sangat rentan menjadi korban kekerasan di ranah daring (internet).
“Saat ini rancangan peraturan presiden tentang peta jalan perlindungan anak di ranah daring dalam tahap harmonisasi, ranahnya di Kemenkumham. Targetnya RPerpres ini dapat terbit pada 2023. Namun, di perjalanan ada beberapa catatan dalam RPerpres tersebut yang masih perlu diselaraskan supaya implementasinya bisa diterapkan di pusat, daerah, maupun di ruang partisipasi di masyarakat. Peraturan ini dibuat demi merespons kriminalitas seperti kekerasan, pornografi, pelecehan seksual, dan perundungan anak-anak di ranah daring yang semakin gencar,” ujar Nahar saat melakukan diskusi dengan media dalam kegiatan Media Talk Kemen PPPA di Jakarta pada Jum’at (31/05).
Nahar menyampaikan peta jalan perlindungan anak di ranah daring disusun agar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (Pemda) memiliki panduan dalam melaksanakan perlindungan anak di ranah daring.
“Rancangan Perpres ini mencakup tiga strategi perlindungan anak di ranah daring antara lain strategi pencegahan terjadinya penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap anak di ranah daring. Fokus strategi yang digunakan diantaranya melalui pengendalian risiko dengan intervensi kunci antara lain mengidentifikasi, menapis, dan memutus akses berdasarkan risiko dan bahaya, termasuk mempersiapkan kebijakan terkait tata kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) untuk menerapkan mekanisme perancangan teknologi informasi ramah anak,” ujar Nahar.
Nahar menegaskan komitmen pemerintah dalam melindungi anak-anak dari berbagai ancaman di dunia maya. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya menyusun dan melengkapi regulasi yang diperlukan untuk mengatasi tantangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak yang meningkat seiring perkembangan teknologi.
“Sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak, yang membuat isu perlindungan mereka menjadi prioritas utama. Anak-anak menghadapi berbagai kerentanan, terutama dengan meningkatnya penggunaan internet. Meskipun internet memberikan banyak manfaat seperti kemudahan akses informasi dan hiburan, risiko seperti bullying, eksploitasi seksual, dan kecanduan juga meningkat,” jelas Nahar.
Nahar juga mengakui adanya tantangan yang dihadapi orang tua dalam mendampingi anak-anak di era digital. Kesenjangan pengetahuan teknologi antara orang tua dan anak-anak dapat mempengaruhi efektivitas perlindungan. Oleh karena itu, orang tua diimbau untuk lebih aktif mendampingi dan mengedukasi anak-anak mereka tentang penggunaan internet yang aman.
Penyusunan RPerpres PARD melibatkan lebih dari 16 kementerian lembaga. Regulasi ini diharapkan menjadi acuan bagi para pemangku kebijakan dalam menurunkan angka kekerasan online dan meningkatkan kolaborasi lintas sektor. Kemen PPPA berharap semua regulasi yang sedang disusun dapat segera disahkan dan diimplementasikan, demi menciptakan dunia digital yang lebih aman dan ramah bagi anak-anak Indonesia.
Sementara itu, Program Manager ECPAT Indonesia, Andy Ardian menyebutkan Indonesia diduga telah menjadi lokasi penyimpanan konten pornografi anak. Hal ini merupakan hasil penelitian dari perusahaan teknologi Apple bekerja sama dengan Internet Watch Foundation (IWF) yang berbasis di United Kingdom (UK) , sebuah portal pelaporan konten pornografi anak di internet. Portal ini menerima laporan dari pengguna internet yang menemukan konten seksual anak, dan hasilnya menunjukkan 897 aduan masuk, dengan 204 di antaranya terbukti berisi materi kekerasan seksual anak.
Baca Juga: Kemen PPPA Memastikan Layanan Kepada Anak Korban Pemerkosaan Ayah Kandung di Jakarta Timur
“Laporan ini menunjukkan bahwa di Indonesia banyak yang memiliki layanan situs web khusus menyimpan konten-konten pornografi anak. Jumlahnya ada 11 laporan hosting web. Ini sangat meresahkan bagi masyarakat. Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) supaya Indonesia itu tidak menjadi tempat penyimpanan konten pornografi anak dan dapat mengambil tindakan signifikan untuk menanganinya. Kolaborasi antara Kominfo dan aparat penegak hukum diperlukan untuk memproses konten secara digital, menggunakan data coding untuk membantu interpol menghapus konten dari platform digital secara otomatis. Meskipun upaya ini masih dalam tahap usulan di RPerpres Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring, harapannya bisa terwujud untuk membantu memerangi konten pornografi anak secara lebih efektif,” ujar Andy.
Sementara itu, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Sariaty Dinar mengatakan dalam periode 2016-2024, Kominfo telah menangani 9.228 konten pornografi anak, dengan sebagian besar berupa situs web, serta konten di platform seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, file sharing, dan Telegram. Selain itu, 37 konten kekerasan anak juga telah diblokir atau diputus aksesnya.
“Untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak, Kominfo bekerja sama dengan berbagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) seperti Meta, TikTok, Twitter, dan Snack Video, serta mengusulkan kemitraan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Upaya ini bertujuan untuk mengedukasi dan memfasilitasi kegiatan masyarakat, serta menangani konten negatif termasuk hoaks. Dengan implementasi RPP ini, diharapkan dapat memperkuat regulasi dan kebijakan perlindungan anak dalam dunia digital di Indonesia,” kata Sariaty.***