Blitar, serayunusantara.com — Sebuah diskusi panel bertajuk “Quo Vadis Kebebasan Ekspresi?” digelar hari ini, Kamis (04/12/2025). Memantik perdebatan serius mengenai tren penurunan kualitas demokrasi dan semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil di Indonesia, khususnya sejak Agustus 2025.
Agenda penting ini diselenggarakan oleh Aliansi Aktivis Demokrasi Blitar bersama Koalisi Pembebasan Sam Oemar dan Shelfin Bima dari Kediri.
Dengan tujuan menganalisis pola pembungkaman sipil dan mengidentifikasi akar masalah dari “pemburuan aktivis” yang belakangan terjadi.
Acara yang menarik perhatian berbagai kalangan ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda: Reyda Hafis (Mahasiswa), Dipang Tri Prayoga (Aktivis dari Sekitar Institut Kediri), dan Supriarno (Akademisi Hukum UNU Blitar).
Dipang Tri Prayoga, sebagai perwakilan aktivis, memaparkan secara gamblang pola-pola pembungkaman yang terstruktur.
Menurutnya, intimidasi terhadap aktivis dan pembatasan kritik seringkali menggunakan instrumen hukum yang multitafsir.
“Fenomena ini bukan sekadar insiden, tetapi merupakan indikasi kuat adanya kemunduran demokrasi. Hak dasar untuk mengkritik dan berekspresi, yang dijamin konstitusi, kini terasa terancam,” tegas Dipang.
Dari sudut pandang akademis, Supriarno menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan netral.
Ia berpendapat bahwa kemunduran demokrasi dapat dilihat dari penyalahgunaan wewenang dan ketidakmampuan institusi penegak hukum untuk menjaga independensinya.
“Jika UU digunakan bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk membungkam kritik, maka ruang sipil kita sedang sakit parah,” jelas Supriarno.
Sementara itu, Reyda Hafis mewakili suara mahasiswa, menyoroti peran generasi muda dalam menjaga idealisme demokrasi.
Ia mengajak seluruh elemen sipil untuk kembali merumuskan strategi pergerakan yang lebih solid dan terorganisir.
Diskusi ini ditutup dengan merumuskan rekomendasi strategis, termasuk mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi serta menyerukan reformasi institusi penegak hukum guna pemulihan ruang sipil yang demokratis. (Fin/Serayu)







