Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu. (Foto: KemenPPPA RI)
Jakarta, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengusulkan dua rancangan undang-undang untuk dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029. Sebagai upaya memperkuat pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tataran kebijakan, Kemen PPPA menyelenggarakan Rapat Pendalaman Dua Rancangan Undang-undang Usulan Kemen PPPA dalam Daftar Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 bersama para pemangku kepentingan dari Kementerian/Lembaga.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah mengajukan 2 (dua) usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu: RUU tentang Kesetaraan Gender, dan RUU tentang Erbakan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menindaklanjuti usulan tersebut, ada catatan yang diberikan untuk melakukan pendalaman kembali terkait dua usulan RUU tersebut. Kami melaksanakan kegiatan ini agar dapat menghimpun masukan dan saran dari berbagai sektor dalam memberikan perlindungan anak dan mewujudkan kesetaraan pada level kebijakan,” jelas Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu (10/10).
Titi Eko menyampaikan latar belakang penyusunan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diantaranya masih ditemukan kendala pada implementasi peraturan perundangan di lapangan berdasarkan kajian yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat sipil. Lebih lanjut, faktor perubahan sistem hukum turut mempengaruhi, seperti disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Kemen PPPA juga menyusun RUU tentang Kesetaraan Gender yang telah beberapa kali masuk dalam Prolegnas. Kami terus mengupayakan RUU tersebut karena belum semua perempuan menikmati akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang seimbang dalam berbagai bidang pembangunan. Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional tidak dapat secara efektif melaksanakan advokasi pengarusutamaan gender, dikarenakan hanya mengikat lembaga eksekutif. Oleh karenanya, perlu pengaturan yang lebih kuat terkait sistem dan mekanisme bagi penyelenggara negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mewujudkan kesetaraan,” kata Titi Eko.
Titi Eko melanjutkan bahwa RUU Kesetaraan Gender juga sejalan dengan program prioritas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029, serta tugas dan fungsi bagi Kemen PPPA sebagai kementerian yang mengampu isu pemberdayaan perempuan.
Baca Juga: Rakornas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, Kemen PPPA Perkuat Peran Anak Hingga SAPA 129
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyampaikan pentingnya landasan hukum mengenai kesetaraan gender yang telah menjadi komitmen internasional. RUU Kesetaraan Gender diharapkan bisa menjadi instrumen untuk memastikan semua penyelenggara negara turut serta, dan dapat mendorong agar peraturan perundangan-undangan lainnya tidak diskriminatif serta ramah gender.
“RUU Kesetaraan Gender ini diperlukan karena sejauh ini ratifikasi dari CEDAW yang menjadi acuan terhadap isu kesetaraan gender baru diratifikasi menjadi Instruksi Presiden yang disahkan pada tahun 2000. RUU Kesetaraan Gender dibutuhkan untuk memastikan setiap Kementerian/Lembaga terikat dan perlu terlibat untuk menghapuskan diskriminasi gender. Karena kalau kesetaraan gender masuk hanya dalam tataran program tanpa dasar hukum yang kuat, hanya akan menjawab permasalahan kecil, bukan akar permasalahannya secara luas,” kata Ninik.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati turut menyampaikan, jika melihat Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender, masih ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Untuk memperkecil gap yang lebar dan tidak meningkat secara signifikan, dibutuhkan landasan hukum yang kuat untuk mendorong seluruh sektor turut serta mengupayakan kesetaraan.
Dari sisi perlindungan anak, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Imron Rosadi mendukung revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk mewujudkan perlindungan anak yang lebih implementatif.
“Kami setuju untuk melakukan revisi karena penerapannya di lapangan banyak mendapat masukan konstruktif. Namun kami menyampaikan, kalau melakukan revisi dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang konsepsi atau persepsi dan kedua implementasinya. Terkait implementasinya, diharapkan lebih meningkatkan peran aparat penegak hukum, mendorong hubungan antar kelembagaan dan pembagian tugas antar kementerian/lembaga yang ada,” kata Imron.
Baca Juga: Menteri PPPA Tinjau Langsung Korban Kekerasan Seksual di Mamuju
Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Khusus Anak, Muhammad Ihsan menyampaikan situasi yang terjadi dalam implementasi sistem peradilan pidana anak. Kondisi di lapangan ditemukan bahwa pendampingan masih dilaksanakan secara terpisah-pisah atau belum menyeluruh dari berbagai aspek. Selain itu pendampingan yang diberikan belum berkelanjutan salah satunya karena terdapat keterbatasan SDM. Di sisi lain, terdapat kesenjangan antara Undang-undang Bantuan Hukum dan Undang-undang Sistem Pidana Peradilan Anak terkait kriteria penerima bantuan hukum.
“Dibutuhkan perbaikan di tataran kebijakan untuk mendorong implementasi sistem peradilan pidana anak yang komprehensif untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan anak,” kata Ihsan.
Ketua Kelompok Kerja Sosial Budaya dan Politik, Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Septyarto mendorong pendalaman materi dan penguatan argumentasi terhadap RUU Kesetaraan Gender dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diharapkan peraturan perundang-undangan dapat disusun sesuai dengan kebutuhan, dan disajikan secara objektif, serta menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat sesuai dengan pembangunan nasional.
“Dalam menghapuskan diskriminasi, Kemen PPPA membutuhkan panduan dasar yang kuat. Rancangan undang-undang ini diharapkan secara materi bisa benar-benar menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karenanya, butuh diperdalam lagi argumentasinya, agar bisa menjawab pertanyaan atau permasalahan yang perlu ditindaklanjuti, sehingga bisa benar-benar implementatif,” kata Septyarto.***