Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Suhaeni dalam Training of Trainer Panduan Praktis Pelaksanaan Stranas PPA di Provinsi Sulawesi Selatan. (Foto: KemenPPPA RI)
Makassar, serayunusantara.com – Melansir dari laman KemenPPPA RI, Praktik perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Pasalnya, praktik ini melanggar pemenuhan hak dasar anak atas pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan yang menyebabkan hilangnya tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak yang optimal.
“Berbagai hal telah diupayakan untuk menurunkan angka perkawinan anak. Kebijakan terkait perkawinan anak secara jelas telah termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Pemerintah mengangkat program Pencegahan Perkawinan Anak (PPA) sebagai program prioritas nasional melalui strategi penguatan koordinasi dan sinergi upaya pencegahan perkawinan anak,” ujar Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Suhaeni dalam Training of Trainer (ToT) Panduan Praktis Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di Provinsi Sulawesi Selatan.
Menurut Suhaeni, Pemerintah melalui Kemen PPPA dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun Panduan Praktis Pelaksanaan Stranas PPA di Daerah bersama UNICEF, Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2), dan Inklusi. Panduan yang diluncurkan pada April 2024 ini menjadi acuan dalam penyusunan rencana aksi daerah dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar secara programatik dapat menurunkan angka perkawinan anak.
Lebih lanjut, Suhaeni menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak di Indonesia yang mencapai angka 9,23 persen pada 2021 menurun menjadi 8,06 persen pada 2022. Angka tersebut kembali menurun hingga 6,92 persen pada 2023. Meskipun menunjukkan penurunan dan melampaui target RPJMN Tahun 2020-2024, yaitu sebesar 8,74 persen dan sudah mencapai target SDGs Tahun 2030 sebesar 6,94 persen, tetapi masih terdapat 18 provinsi yang angka perkawinan anaknya berada di atas angka nasional, termasuk Provinsi Sulawesi Selatan dengan angka 7,48 persen. “Ini menunjukkan bahwa pemerintah masih tetap harus terus berupaya menghapuskan praktik perkawinan anak ini,” kata Suhaeni.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3ADaldukKB) Sulawesi Selatan, Andi Mirna mengatakan, tingginya angka perkawinan anak di Sulawesi Selatan disebabkan oleh pengaruh adat dan tradisi di masyarakat; permasalahan ekonomi;kurangnya akses terhadap informasi kesehatan; putus sekolah; teknologi yang bebas diakses khususnya konten negatif;pornografi; aplikasi pertemanan/kencan; media sosial yang dampak pada perilaku negatif dalam bergaul; dan pergaulan berisiko, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Baca Juga: Menteri PPPA Apresiasi BRILLIANT, Program Inovasi Pencegahan Pernikahan Anak Di Kaltara
Untuk itu, Kemen PPPA menggandeng Lembaga Masyarakat Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) dalam upaya menguatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di Provinsi Sulawesi Selatan dalam implementasi pelaksanaan Stranas PPA melalui ToT yang dihadiri oleh 35 peserta perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di 9 (sembilan) kabupaten/kota, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten KepulauanSelayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Luwu Utara. Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh akademisi, media, dan lembaga masyarakat di Kota Makassar.
Ketua Pelaksana YASMIB, Rosniaty Panguriseng menyampaikan, peluncuran panduan praktis STRANAS PPA ini diharapkan dapat mengoptimalisasikan implementasi pelaksanaan pencegahan perkawinan anak di daerah. “Terkait dengan hal tersebut, maka salah satu yang dibutuhkan adalah memperkuat SDM, baik kualitas maupun kuantitas yang dapat mempercepat pelaksanaan upaya pencegahan perkawinan anak di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” tutur Rosniaty.
ToT ini memuat penjelasan dan praktik mulai dari melakukan: (1) pemetaan kondisi daerah terkait tren perkawinan anak di daerah; (2) aspek sosial budaya, identifikasi penyebab perkawinanan anak; (3) pemangku kepentingan terkait, identifikasi komitmen antar pihak, SDM akselerasi dan champion/penggerak PPA, dan mitra pembangunan yang bekerja untuk PPA; (4) kebijakan/peraturan PPA di daerah, identifikasi bentuk kebijakan dan kelembagaan terkait layanan PPA; (6) perumusan potensi dan masalah perkawinan anak; (7) bentuk intervensi dan rencana aksi; (8) PPA dalam perencanaan dan penganggaran daerah; (9) strategi membangun komitmen dan regulasi/kebijakan; (10) pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan pendokumentasian.
Rosniaty berharap ToT ini bisa menghasilkan 35 fasilitator dengan tujuan peserta memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang implementasi Stranas PPA dan paduan praktisnya. Selain itu, fasilitator diharapkan mampu mengidentifikasi keterlibatan para pihak untuk memaksimalkan pelaksanaan 5 (lima) strategi yang ada dalam Stranas PPA, yaitu optimalisasi kapasitas anak; lingkungan yang mendukung; aksesibilitas layanan; penguatan regulasi dan kelembagaan; serta implementasi penguatan pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun daerah di daerah. Peserta juga diharapkan memiliki kemampuan teknis memfasilitasi proses.
Perencana Ahli Madya Direktorat Jenderal Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas, Yosi Diani Tresna berpesan kepada para peserta untuk memperhatikan penguasaan materi, keterampilan komunikasi, empati, keterampilan interpersonal, kemampuan adaptasi, serta kemampuan evaluasi dan penyesuaian.
Baca Juga: Kemen PPPA Kawal Kasus Perundungan Di Kab. Bandung Barat
Selain melatih calon fasilitator, Kemen PPPA bersama YASMIB juga melaksanakan kegiatan pelatihan bagi Petugas Layanan Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Wajo pada 24-25 Juni 2024 yang dihadiri oleh 26 peserta tanaga layanan dari unsur pemerintah daerah, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Dalam kegiatan tersebut merekomendasikan 5 (lima) rencana tindak lanjut, yaitu konsolidasi mitra lembaga layanan; penguatan PATBM melalui piloting 5 (lima) desa/kelurahan; penguatan sistem data berbasis desa/kelurahan dengan dibuatkannya surat edaran dan laporan kasus perkawinan anak per bulan; gerakan orang tua sayang anak melalui stop perkawinan anak; dan gerakan literasi masyarakat untuk PPA berbasis agama (Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan Majelis Ulama Indonesia).***