Surabaya, serayunusantara.com – Diskusi publik yang digelar PKC KOPRI Jawa Timur pada Jumat (14/10/2015), menjadi panggung penting bagi lahirnya pernyataan sikap organisasi terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan sepuluh tokoh sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.116/TK/2025.
Forum yang berlangsung selama dua jam dan diikuti oleh kader PMII serta KOPRI se-Jawa Timur tersebut menghadirkan tiga pemateri: Ketua PW GP Ansor Jawa Timur H. Musaffa Safril, pakar Hukum Tata Negara Dr. Dian Ferricha, dan Ketua PKC PMII Jawa Timur M. Ivan Akiedozawa.
Meskipun diskusi dibuka dengan ulasan akademik mengenai landasan hukum penganugerahan gelar pahlawan sebagaimana diatur dalam UU No. 20/2009 dan PP No. 35/2010, dinamika forum kemudian mengerucut pada satu nama yang dinilai memerlukan kajian ulang: Jenderal Besar TNI H.M. Soeharto.
Para narasumber menilai bahwa penetapan gelar tersebut bukan sekadar soal administratif, tetapi menyangkut kejujuran sejarah, integritas moral publik, hingga kewibawaan negara dalam menjaga makna kepahlawanan.
Ketua PW GP Ansor Jatim, H. Musaffa Safril, dalam pandangannya mengingatkan bahwa gelar pahlawan adalah representasi nilai moral kolektif bangsa.
“Pahlawan bukan hanya tentang kekuasaan atau posisi. Ia tentang keberpihakan pada rakyat, pada kemanusiaan. Karena itu penetapannya harus sangat hati-hati. Jika figur yang memiliki catatan sejarah kontroversial diberi gelar tanpa penjelasan yang kuat, maka negara justru sedang mengaburkan nilai-nilai itu,” ujarnya.
Baca Juga: Ketua PC PMII Blitar Mengecam Keras Penganugerahan Gelar Pahlawan kepada Terduga Pelanggar HAM
Sementara itu, Dr. Dian Ferricha menyampaikan bahwa prosedur penganugerahan gelar memang melibatkan mekanisme seleksi ketat, namun transparansi dan objektivitas negara juga harus diuji.
“Ketika sebuah keputusan negara memicu pertanyaan publik, itu tanda bahwa ada ruang yang perlu diperbaiki. Penilaian terhadap rekam jejak pelanggaran HAM, dugaan penyalahgunaan kekuasaan, atau praktik korupsi tidak boleh diabaikan, terlebih jika menyangkut figur penting dalam sejarah negara,” jelasnya.
Ketua PKC PMII Jawa Timur, M. Ivan Akiedozawa, juga menyoroti risiko inflasi gelar dan dampaknya terhadap generasi muda.
“Di era ini, gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan, tetapi simbol identitas moral bangsa. Jika simbol itu diberikan tanpa kepastian integritas, generasi muda akan kehilangan orientasi. Kita berpotensi memasuki krisis kepahlawanan,” ujarnya.
Dari rangkaian pemaparan tersebut, muncul sorotan tajam bahwa rekam jejak Soeharto masih menyisakan banyak luka sejarah, termasuk persoalan HAM berat seperti peristiwa 1965–1966 hingga tragedi 1998, serta praktik korupsi dan nepotisme sepanjang 32 tahun Orde Baru.
Meskipun TAP MPR No. XI/MPR/1998 telah dicabut pada 2024, fakta sejarah tersebut tetap menjadi memori kolektif yang tidak dapat dipisahkan dari penilaian moral.
Berangkat dari kajian panjang dalam forum tersebut, PKC KOPRI Jawa Timur secara tegas menyatakan sikap resmi organisasi. Ketua KOPRI PKC Jawa Timur, Kholisatul Hasanah, menyebut bahwa keputusan negara ini tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa pengawasan publik, terlebih ketika menyangkut reputasi moral bangsa.
“Kami melihat adanya ketidaksinkronan serius antara rekam jejak historis Soeharto dengan kriteria formal gelar Pahlawan Nasional. Karena itu, negara wajib memberikan penjelasan yang objektif dan membuka ruang evaluasi. Pahlawan adalah teladan, bukan sekadar bagian dari rekayasa narasi politik,” tegasnya.
Baca Juga: Ketua PC PMII Blitar Mengecam Keras Penganugerahan Gelar Pahlawan kepada Terduga Pelanggar HAM
Ia menambahkan bahwa keberanian mempertanyakan kebijakan negara bukanlah bentuk pembangkangan, tetapi bagian dari tanggung jawab moral generasi muda dalam menjaga kebenaran sejarah.
“Kami menolak gelar pahlawan dijadikan alat rekonsiliasi politik yang mengabaikan penderitaan korban. Jika negara tidak berhati-hati, kita sedang membuka ruang untuk normalisasi pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan di masa depan,” tambahnya.
Dalam pernyataan resmi, PKC KOPRI Jawa Timur menyampaikan empat poin sikap:
1. Mendesak Presiden untuk melakukan kajian ulang terhadap penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar TNI H.M. Soeharto, mengingat banyaknya kontroversi dan catatan sejarah yang bertentangan dengan kriteria formal kepahlawanan.
2. Meminta pemerintah daerah serta masyarakat sipil untuk melakukan kajian independen melalui TP2GD dan lembaga akademik guna memastikan apakah gelar tersebut memenuhi standar objektivitas dan integritas sejarah.
3. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal proses penyucian nilai sejarah, terutama dengan menolak politisasi gelar pahlawan yang berpotensi menghilangkan makna moral dari perjuangan sesungguhnya.
4. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat kedaulatan moral bangsa dengan menolak praktik oligarki, penyalahgunaan kekuasaan, maupun glorifikasi tokoh yang belum tuntas secara etis dan historis. (Serayu)









