Sekum PMII Blitar Sebut Jabatan Kades 9 Tahun Rawan Langgengkan Korupsi 

Sekretaris Umum PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf (tengah pegang mik). (foto: dok. PMII Unisba Blitar)

Blitar, serayunusantara.com – Sekretaris Umum (Sekum) Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII (Blitar), Muhammad Thoha Ma’ruf menilai perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) selama 9 tahun hanya akan melanggengkan penyelewengan kebijakan dan pengelolaan anggaran di desa.

“Penambahan masa jabatan kades ini bisa menciptakan korupsi yang lebih marak. Apalagi jumlah kades yang tersangkut masalah itu juga tidak sedikit. Ada ratusan kades di Indonesia yang terjerat korupsi,” katanya, Rabu (01/02/2023).

Ma’ruf menyebut, dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2021 saja ada 154 korupsi dana desa. Akibatnya, potensi kerugian negara akibat temuan tersebut mencapai Rp233 miliar. Tentunya nominal sebesar itu bukan jumlah yang sedikit.

Pria jebolan S1 Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar ini menjelaskan, latar belakang yang menjadi alasan para kades untuk memperpanjang masa kerjanya dirasa juga kurang tepat. Karena masalah yang dijadikan alasan kades untuk memperpanjang masa kerjanya masih bisa diselesaikan dengan beragam solusi.

“Misalnya, alasan usai pemilihan kades ada konflik yang terjadi di masyarakat hingga ada perpecahan. Itu masih bisa dicarikan solusinya, yakni dengan cara bertabayun atau menggelar musyawarah mufakat antar warga untuk menyukseskan visi misi pembangunan di desa,” ujarnya.

Baca Juga: BPBD Kabupaten Blitar Gercep Evakuasi Pohon Tumbang di Garum Blitar 

Mantan Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Freedom Unisba Blitar 2021-2022 ini melanjutkan, masalah lain yang digunakan kades, yakni apabila masa jabatan hanya 6 tahun, maka pembangunan yang dilakukan kades masih belum selesai. Padahal masih bisa dicarikan solusinya.

“Kembali lagi di sini pentingnya sebuah musyawarah di desa. Di mana pertemuan tokoh-tokoh di desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membahas pembangunan di desa. Pastinya di situ ada kesepakatan jangka waktu pembangunan dan rencana apa saja yang akan dibangun,” jelasnya.

Selain itu, kata mahasiswa yang pernah mengikuti pertukaran mahasiswa Indonesia-Thailand ini, alasan lain dari kades, yakni terbebaninya anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) juga tidak bisa menjadi alasan.

“Lebih baik mengorbankan APBD untuk setiap desa sekitar Rp 50 juta, tapi regenerasi kepemimpinan bisa berjalan. Sehingga penyelewengan bisa diperkecil kemungkinannya untuk terjadi,” tandasnya. (jun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *